JAKARTA, KOMPAS.com – Perekrutan anak dalam radikalisme dan tindakan terorisme memiliki cara baru yakni melalui media.
Demikian diungkapkan Asisten Deputi Perlindungan Anak Berhadapan dengan Hukum dan Stigmatisasi (Asdep PABHS) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) Hasan.
"Cara baru menggunakan website, media sosial, dan social messenger. Perekrutan dilakukan terbuka dan pembaiatan melalui media," ujar Hasan dalam Webinar bertajuk ‘Sosialisasi Pencegahan Anak dari Radikalisme dan Tindakan Terorisme’, Rabu, (8/7/2020).
Sementara, lanjut Hasan, cara lama perekrutan anak yaitu melalui keluarga, pertemanan, ketokohan, dan lembaga keagamaan dengan perekrutan secara tertutup dan pembaiatan secara langsung.
Baca juga: Mensos: Kita Harus Pastikan Anak-anak Teroris Bersih dari Paham Radikalisme
Hasan mengatakan, ada beberapa faktor yang menyebabkan anak terlibat radikalisme dan tindakan terorisme.
Pertama berasal dari keluarga dekat, bahkan berasal dari keluarga inti.
"Ada orang tua atau anggota keluarga lain yang mengajarkan paham radikalisme dan terorisme kepada anak," ungkap Hasan.
Kemudian, berasal dari lingkungan misalnya, lingkungan pertemanan dan tetangga yang mengajarkan radikalisme dan terorisme kepada anak.
Terakhir, akar persoalan radikalisme dan terorisme sendiri, menurut Hasan, yakni kemiskinan.
Baca juga: Kemen PPPA: Paparan Radikalisme Bikin Anak Keliru Pahami Agama
Sebab banyak ditemukan kasus anak terjerumus di dalam jaringan terorisme bukan semata ideologi, melainkan karena di bawah pengaruh, bujuk rayu, hingga janji diberikan uang.
"Anak itu sering dijanjikan gaji atau hal-hal berbau materi, jaminan seumur hidup, supaya tertarik terlibat dalam jaringan terorisme," ucap Hasan.
Hasan mengatakan, anak harus dicegah agar tidak terlibat radikalisme dan terorisme supaya tidak menjadi pelaku tindak pidana terorisme.
Sebab, radikalisme dan terorisme berpengaruh buruk pada tumbuh kembang anak, terutama dari sisi karakter kehidupan bermasyarakat, pemahaman agama, nilai-nilai nasionalisme, dan ideologi.
Baca juga: Kementerian PPPA: Ada Orangtua Ajarkan Radikalisme ke Anak...
Catatan Kementerian PPPA, perkara terorisme yang melibatkan anak-anak, baik sebagai pelaku maupun korban, beberapa kali terjadi di Indonesia.
Salah satu contohnya, teror bom di Surabaya tanggal 13-14 Mei 2018. Kasus itu menyebabkan tujuh anak dirawat intensif.
Di antaranya, tiga anak dari pelaku terorisme di Rusun Wonocolo Sidoarjo, tiga anak terduga teroris yang ditangkap di Jalan Sikatan dan satu anak terkait bom di depan Kantor Polrestabes Surabaya.
Ada pula kasus terorisme di Sibolga, Sumatera Utara yang menyebabkan satu orang anak tewas.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.