JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti dari Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Yusfitriadi, meminta anggota DPR untuk mundur dari jabatannya jika tidak sanggup membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Menurut Yusfitriadi, DPR tak memahami urgensi pengesahan RUU PKS yang saat ini telah ditarik dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2020.
"Tidak tahu alasannya, baru kali ini ngomong tidak sanggup. Kalau tidak sanggup, turun saja," ujar Yusfitriadi dalam diskusi virtual, Kamis (2/7/2020).
Baca juga: Komisi VIII Usulkan RUU PKS Dikeluarkan dari Prolegnas Prioritas 2020
Yusfitriadi menuturkan, inisiatif disusunnya RUU PKS berangkat dari tingginya kasus kekerasan seksual di tengah masyarakat.
Menurut dia, kasus pelecehan seksual merupakan permasalahan yang sangat krusial. Namun, kegentingan tersebut justru tak mampu diakomodasi oleh DPR.
Yusfitriadi lantas mempertanyakan langkah DPR yang menggulirkan wacana pembahasan RUU yang dianggap tidak krusial. Misalnya, RUU Haluan Ideologi Pancasila.
"Mending kalau tidak kontroversial, di sini akan memunculkan bias di tengah masyarakat," tutur dia.
Baca juga: Ini Alasan Akademisi Terkait Urgensi Pengesahan RUU PKS
Sebelumnya, Komisi VIII DPR mengusulkan agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dikeluarkan dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020.
Wakil Ketua Komisi VIII Marwan Dasopang mengatakan, pembahasan RUU PKS sulit dilakukan saat ini. RUU PKS merupakan RUU inisiatif DPR.
"Kami menarik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Karena pembahasannya agak sulit," ujar Marwan dalam rapat bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR, Selasa (30/6/2020).
Dihubungi seusai rapat, Marwan menjelaskan, kesulitan yang dimaksud dikarenakan lobi-lobi fraksi dengan seluruh fraksi di Komisi VIII menemui jalan buntu.
Baca juga: Polemik Penarikan RUU PKS dari Prolegnas Prioritas 2020
Marwan mengatakan, sejak periode lalu pembahasan RUU PKS masih terbentur soal judul dan definisi kekerasan seksual. Selain itu, aturan mengenai pemidanaan masih menjadi perdebatan.
Usulan ini sontak mendapat kritik dari berbagai pihak. Komisioner Komnas Perempuan Bahrul Fuad menyesalkan sikap Komisi VIII tersebut.
Menurut Fuad, DPR tidak memiliki komitmen politik yang cukup kuat untuk memberikan kepastian hukum bagi korban-korban kekerasan seksual.
"Kesulitan pembahasan menurut kami dikarenakan tidak adanya political will untuk memberikan keadilan bagi korban," kata Fuad saat dihubungi, Rabu (1/7/2020).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.