PANCASILA adalah milik bangsa Indonesia. Bukan milik satu golongan, partai, atau kelompok tertentu. Demikian pula, dengan Bung Karno, "Sang Penggali Pancasila", milik seluruh rakyat Indonesia.
Karena itu, jika ada kelompok atau golongan yang mencoba memonopoli Pancasila dan Sukarno, kelompok tersebut sebetulnya sedang mengerdilkan Sukarno.
Presiden RI pertama tersebut secara tegas menyatakan Pancasila adalah milik bangsa Indonesia.
Sikap tersebut, ditunjukkan Sukarno yang pernah membubarkan Barisan Pendukung Soekarnoisme (BPS) pada 1964 yang dinilai hanya menggunakan "Soekarnoisme" untuk membunuh "Soekarnoisme" dan kepentingan kelompok tertentu.
Dia juga pernah mengingatkan Gerakan Pembela Pancasila pada 22 Juni 1945, yang mendatangi dan memberikan dukungan.
Ketika diminta berpidato, Bung Karno justru menegaskan Pancasila sebagai Dasar Negara, bukan dasar organisasi atau kelompok tertentu.
Artinya, menurut Sukarno, ketika ada kelompok tertentu yang ingin tampil seolah-olah paling memiliki Pancasila.
Itu berarti menjauhkan kelompok-kelompok lainnya dari Pancasila. Sikap Bung Karno tersebut adalah sikap seorang negarawan yang mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas segalanya, termasuk kepentingan kelompok dan golongan.
Ada kesadaran mulia, ketika seseorang menjadi pemimpin negara, maka loyalitasnya harus meluas ke seluruh komponen bangsa. Tidak lagi menjadi miliki satu golongan. Begitu pula karyanya.
Artinya, jika Pancasila dianggap sebagai buah pikiran Bung Karno, maka Bung Karno sudah mewakafkannya menjadi milik bangsa. Milik seluruh golongan.
Yang paling penting saat ini adalah menjaga Pancasila dengan cara mempraktikannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bukan memperdebatkannya.
Semua perlu memacu habis-habisan semangat mempraktikkan Pancasila. Membuatnya sebagai pedoman hidup dan menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari.
Lima sila dalam Pancasila mengajarkan nilai-nilai luhur, yakni budi pekerti, religiusitas, persatuan dan kesatuan, keadilan, dan kerja sama.
Jika Pancasila ini dipraktikan secara konsisten, tidak akan ada kolusi-korupsi-nepotisme (KKN), tidak ada perpecahan, dan kebohongan. Nilai-nilai kejujuran akan dijunjung tinggi.
Ketuhanan Yang Maha Esa; bermakna setiap warga negara harus beragama dan mengakui adanya Tuhan Yang Esa.