JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan sejumlah persoalan di sektor pengelolaan dana penelitian dalam hasil kajiannya.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan, sejumlah persoalan itu menunjukkan arah penelitian di Indonesia tidak jelas.
"Karena tidak ada arah yang jelas tentu juga sumbangsih dan kegunaannya bagi kemajuan indonesia tentu akan semakin suram untuk dijelaskan," kata Ghufron dalam konferensi pers, Selasa (16/6/2020).
Baca juga: Peneliti LIPI: Banyak Hasil Penelitian di Indonesia Tidak Dihargai
Ghufron menuturkan, dari sisi regulasi belum ada norma untuk mematuhi prioritas kebijakan Iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) nasional yang menyebabkan koordinasi dan arah pengembangan iptek menjadi tidak jelas.
Kedua, Ghufron menyebut tak ada regulasi mengenai politik anggaran penelitian dan mekanisme penggunaan anggaran penelitian.
"Dalam hal ini misalnya definisi anggaran penelitian, sumber dana penelitian, pengelolaan dan pengawasannya itu tidak ada ketentuan yang jelas," ujar Ghufron.
Baca juga: Gonjang-ganjing Dunia Peneliti, Membedah Reorganisasi LIPI
Kemudian, dari sisi kelembagaan, KPK menilai belum ada lembaga yang mengatur koordinasi antarpeneliti dan penelitiannya.
Padahal, institusi pelaku riset di Indonesia banyak ragamnya antara lain perguruan tinggi, badan penelitian dan pengembangan di kementerian dan lembaga pemerintah pusat serta pemerintah daerah.
"Seluruh institusi ini melakukan penelitian dengan anggaran dan SDM namun minim integrasi dan koordinasi," kata Ghufron.
Berangkat dari persoalan itu, KPK merekomendasikan penguatan Kementerian Riset dan Teknologi sebagai lembaga yang mengoordinasikan pelaksanaan penelitian.
Kemudian dari sisi tata kelola, KPK merekomendasikan adanya prioritas anggaran penelitian dan penandaan anggaran (budget tagging) penelitian.
"Seberapa besaran anggaran dana penelitian sampai saat ini tidak bisa diidentifikasi karena unit atau budget tagging-nya itu tidak jelas," kata Ghufron.
Baca juga: Reorganisasi LIPI Jalan Terus, Eksekusinya Diperbaiki
Terakhir, dari sisi sumber daya manusia (SDM), KPK menemukan belum adanya kode etik yang dibuat oleh organisasi profesi peneliti.
KPK pun mendorong organsasi profesi bekerja sama dengan instansi pembina untuk menerbitkan kode etik peneliti dan mekanisme penegakannya.
"Karena tidak ada kode etik peneliti di Indonesia mengakibatkan perilaku-perilaku, baik yang semestinya maupun perilaku yang kemudian melanggar atau menyimpang belum dapat diidentifikasi," kata Ghufron.
Adapun kajian ini dilakukan KPK sejak 2018 lalu dengan sejumlah latar belakang, antara lain rendahnya anggaran penelitian di Indonesia serta pelaku riset di Indonesia yang masih didominasi pihak Pemerintah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.