HARI-HARI ini, di tengah wabah Covid-19, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ngotot melanjutkan pembahasan ominibus law yang masih sarat kontroversi.
DPR berdalih, proses ini tetap digelar agar seluruh fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan bisa terus berjalan.
Patut disayangkan! Pada dimensi proses, pembahasan beleid ini akan jauh dari kata ideal di tengah seruan dan kebijakan pembatasan jarak (physical distancing) pemerintah.
Lebih dari itu, secara substansial, undang-undang sapu jagad ini berpotensi merusak mahkota otonomi daerah: kewenangan pelaksanaan urusan dan fiskal.
Baca juga: Di Tengah Penolakan, DPR Siapkan Tahapan Pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja
Mengapa? Sebab, otonomi daerah membuka lebar-lebar struktur kesempatan bagi penciptaan sumber-sumber pertumbuhan dan pusat-pusat ekonomi baru. Ruang kesempatan ini diperoleh karena daerah memiliki modalitas kuat yaitu kewenangan urusan dan fiskal.
Berbekal modalitas ini, daerah memiliki ruang untuk berinovasi dalam dalam melakukan pelayanan publik, memperbaiki tata kelola, dan meningkatkan daya saing.
Jika membaca isi omnibus law, alih-alih memberikan kepastian, beleid ini justru membuat kewenangan urusan (daerah) menjadi abu-abu.
Studi KPPOD (2020) yang fokus pada klaster penyederhanaan perizinan, kemudahan berusaha, dan administrasi pemerintah, menunjukkan bahwa upaya simplifikasi dan standardisasi perizinan usaha pada RUU Cipta Kerja justru memberikan ketidakpastian dan berpotensi menciptakan inefisiensi pelayanan publik di daerah.
Pemerintah pusat selalu menyatakan bahwa pembagian urusan akan diatur dalam peraturan pemerintah.
Baca juga: Tanpa Partisipasi Publik, Omnibus Law Cipta Kerja Jadi Cacat Moral
Namun, kepastian hukum terkait kewenangan justru harus dijamin undang-undang, bukan peraturan turunan.
Karena itu, di tengah perdebatan panas omnibus law, pemerintah daerah (pemda) merupakan elemen penting yang aspirasinya perlu didengar Pusat dan DPR. Pemda adalah ujung tombak pelaksanaan sistem otonomi daerah.
Sejauh ini, pemda belum tampak terlibat dalam pembahasan omnibus law. Padahal aspirasi pemda sangatlah dibutuhkan.
Kemudian, omnibus law akan turut menentukan nasib ekonomi, investasi, dan sosial daerah di mana para gubernur, bupati, dan walikota jadi pemeran utamanya.
Jika ditelaah lebih jauh, paling tidak ada tiga risiko yang muncul saat omnibus law disahkan sebelum menjaring aspirasi pemda.
Baca juga: Bahas Omnibus Law Cipta Kerja di Tengah Pandemi, DPR Dinilai Tak Peka terhadap Rakyat
Pertama, pemda berpotensi tak menjalankan omnibus law, bahkan membuat aturan yang bertentangan. Sudah bukan rahasia, pemda acapkali memilih jalan sendiri yang berseberangan dengan langkah pemerintah pusat.