JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) Ellena Ekarahendy berpendapat, Indonesia berpotensi menjadi negara penghasil tenaga kerja berupah murah jika draf omnibus law RUU Cipta Kerja disahkan menjadi undang-undang (UU).
"Jika disahkan tahun ini, dalam 10-15 tahun ke depan, kita akan terkenal sebagai negara penyuplai tenaga kerja (dengan upah) murah, atau negara yang mempraktikkan perbudakan modern," ujar Ellena dalam konferensi pers di Kantor WALHI, Jakarta Pusat, Kamis (20/2/2020).
Baca juga: 5 Aturan dalam RUU Cipta Kerja yang Berpotensi Memiskinkan Buruh
Menurut Ellena, aturan yang menyangkut ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja sangat mengancam para pekerja muda.
Mengingat, pada kurun 2030-2045 Indonesia akan memiliki bonus demografi pekerja muda.
Sementara itu, kata Ellena, pemerintah selama ini giat membicarakan soal ekonomi digital.
"Ketika bicara ekonomi digital, orang-orang didorong bekerja di start-up, yang adalah UMKM. Berdasarkan pasal-pasal di omnibus law itu artinya kondisi kerja yang sangat rentan sekali," ungkap dia.
Baca juga: LBH Pers Soroti Pasal Karet di RUU Cipta Kerja yang Berpotensi Ancam Kebebasan Pers
Ellena menyinggung aturan terkait pengupahan dan sanksi pengupahan dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dihapus dalam draf RUU Cipta Kerja.
Dengan dihapusnya aturan itu, maka perhitungan pengupahan tidak lagi mengikuti standar minimum daerah.
"Disebutkan bahwa untuk UMKM, tidak harus mengikuti upah minimum, selama di atas garis kemiskinan. Ini problematik, karena garis kemiskinan itu tidak konsisten di beberapa institusi," tutur Ellena.
Baca juga: Soroti Omnibus Law RUU Cipta Kerja, Walhi: Kedudukan Korporasi Bisa seperti VOC
Ia menambahkan, jika kondisi upah hanya berbeda satu rupiah dari garis kemiskinan tetap akan dianggap upah layak saat bekerja di UMKM.
Menurut Ellena, kondisi pengupahan seperti itu akan merugikan para alumni baru (fresh graduate).
"Mereka akan sangat sulit punya daya tawar untuk menegosiasikan upah yang sesuai dan layak. Akhirnya mereka dibuat satu bulan kerjanya cukup diupah Rp 1,5 juta saja," tutur Ellena.
Baca juga: Omnibus Law RUU Cipta Kerja Bukan Draf Final, Menaker: Jangan Takut
Merujuk berbagai hal di atas, Ellena membantah anggapan jika RUU Cipta Kerja nantinya dapat mendukung daya saing di era ekonomi digital.
"Menurut kami ini omong kosong. Kami menjumpai pekerja di ekonomi digital, semua menghadapi kondisi yang sangat rentan, jam kerja yang sangat panjang, upah cenderung kecil, kemustahilan untuk jadi pekerja tetap," tambah dia.
Sebelumnya, DPR telah menerima draf serta surat presiden (surpres) omnibus law RUU Cipta Kerja.