Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tiga Hal yang Dinilai jadi Sebab Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Kompas.com - 28/01/2020, 17:45 WIB
Dylan Aprialdo Rachman,
Kristian Erdianto

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Paritas Institute Penrad Siagian mengungkapkan tiga faktor yang dinilai jadi penyebab terjadinya pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Ketiga faktor itu yakni, regulasi atau norma hukum yang inkonstitusional dan bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM), lemahnya penegakan hukum serta gerakan intoleransi, termasuk ujaran kebencian.

Hal itu disampaikan Penrad saat memaparkan rekomendasi dari Outlook Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan di Indonesia 2020 di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta, Selasa (28/1/2020).

Outlook ini disusun oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil, seperti Paritas Institute, Gusdurian, YLBHI, LBH Jakarta, hingga Lakspedam NU.

"Ketiganya saling berkelindan. Kompromi terhadap salah satu faktor atau penyelesaian hanya terhadap satu faktor, tidak akan menyelesaikan persoalan," kata Penrad.

Baca juga: Negara Diminta Jamin Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Berbasis HAM

Menurut Penrad, ketiga faktor itu harus direspons secara bersamaan. Ia menuturkan, kuncinya adalah negara harus menjalankan proses penegakan hukum dengan tetap menghormati HAM.

Penrad menilai upaya itu guna menjamin keberlangsungan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.

"HAM ini tidak dibatasi oleh atau karena favoritisme atau identitas yang mengikutinya apakah suku, agama, ras, jumlah dan lainnya. Dan ini harus diterapkan kepada semua warga negara karena jaminan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan itu bentuk HAM yang tidak bisa dikurangi dan dicampuri termasuk oleh negara sekalipun," kata Penrad.

Penrad mengatakan, seharusnya negara tidak memberikan ruang terhadap kelompok-kelompok yang melakukan kekerasan berbasis kebebasan beragama dan berkeyakinan.

"Apabila tidak dilakukan, akan jadi legitimasi pada kelompok intoleran untuk melakukan kekerasan yang berlarut," katanya.

Baca juga: Mayoritarianisme Jadi Hambatan Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan

Kedua, ia menilai perlunya jaminan dari negara menyangkut perlindungan kebebasan berpikir dan berekspresi dalam konteks kemerdekaan beragama dan berkeyakinan.

"Kita melihat misalnya di satu sisi negara telah menciptakan berbagai regulasi yang notabene menjadi alat untuk memberangus dan mempersempit kebebasan berpikir, berekspresi dan lain-lain dalam konteks kemerdekaan beragama dan berkeyakinan. Ini yang harus diubah," ucap dia.

Ketiga, Penrad menyarankan penghapusan pasal-pasal yang menyangkut soal penodaan agama. Ia menilai, keberadaan pasal-pasal itu kerap disalahgunakan oleh pihak tertentu sehingga merusak jaminan kemerdekaan beragama dan berkeyakinan.

"Yang kita lihat ternyata kan ini menjadi alat bagi negara atau kelompok intoleran untuk melakukan tindak kekerasan dalam berbagai bentuk kepada komunitas-komunitas keagaamaan dan keyakinan itu sendiri. Saya pikir ini perlu diubah kalau kita ingin situasi bisa lebih baik ke depan," ujar dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

Nasional
Terseretnya Nama Jokowi di Pusaran Sengketa Pilpres 2024 di MK...

Terseretnya Nama Jokowi di Pusaran Sengketa Pilpres 2024 di MK...

Nasional
Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

Nasional
Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

Nasional
Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

Nasional
Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

Nasional
Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Nasional
Serba-serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Serba-serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Nasional
Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Nasional
Saat Sengketa Pilpres di MK Jadi Panggung bagi Anak Yusril, Otto, Maqdir, dan Henry Yoso...

Saat Sengketa Pilpres di MK Jadi Panggung bagi Anak Yusril, Otto, Maqdir, dan Henry Yoso...

Nasional
Pemerintah Kembali Banding di WTO, Jokowi: Saya Yakin Kita Mungkin Kalah Lagi, tapi...

Pemerintah Kembali Banding di WTO, Jokowi: Saya Yakin Kita Mungkin Kalah Lagi, tapi...

Nasional
Menteri ESDM Pastikan Divestasi Saham PT Freeport Akan Sepaket dengan Perpanjangan Kontrak Hingga 2061

Menteri ESDM Pastikan Divestasi Saham PT Freeport Akan Sepaket dengan Perpanjangan Kontrak Hingga 2061

Nasional
Kata Bahlil Usai Terseret dalam Sidang MK Imbas Dampingi Gibran Kampanye di Papua

Kata Bahlil Usai Terseret dalam Sidang MK Imbas Dampingi Gibran Kampanye di Papua

Nasional
[POPULER NASIONAL] Gugatan Anies dan Ganjar Tak Mustahil Dikabulkan | Harvey Moeis Tersangka Korupsi

[POPULER NASIONAL] Gugatan Anies dan Ganjar Tak Mustahil Dikabulkan | Harvey Moeis Tersangka Korupsi

Nasional
Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar

Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com