JAKARTA, KOMPAS.com – Fenomena kerajaan fiktif terus bermunculan. Setelah Keraton Agung Sejagat di Purworejo, beberapa waktu lalu sempat muncul kerajaan lain, yakni Sunda Empire di Bandung.
Belakangan, media sosial Youtube kembali diramaikan dengan keberadaan Negara Rakyat Nusantara yang mengusulkan agar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibubarkan.
Meski video tersebut telah diunggah pada 2015 silam, namun keberadaannya mulai viral baru-baru ini seiring dengan mencuatnya fenomena kerajaan fiktif.
Pengamat sosial dari Universitas Indonesia Devie Rahmawati menilai, ada dua hal yang harus dilihat di balik maraknya fenomena ini, yaitu motif dan tren meningkatnya ketidakpercayaan publik.
Menurut dia, kemunculan Keraton Agung Sejagat memiliki motif yang berbeda dibandingkan dengan tiga kerajaan fiktif lainnya. Kerajaan Agung Sejagat memiliki motif ekonomi sama seperti investasi bodong Memiles guna menggalang dana ilegal dari masyarakat.
“Ini yang berbahaya. Apalagi bila ini pidana, (ada unsur) kebohongan, ini tentu berbahaya. Ini sama saja dengan kasus Memiles yang memang kriminal,” kata Devie kepada Kompas.com, Jumat (24/1/2020).
Baca juga: Raja Keraton Agung Sejagat Masih Mengelak soal Motif Penarikan Uang ke Pengikutnya
Sedangkan, tiga kerajaan fiktif lainnya diduga muncul akibat menguatnya tren ketidakpercayaan publik terhadap sejumlah pihak, mulai dari pemerintah, media hingga atasan mereka di kantor.
Masyarakat cenderung percaya dengan hal-hal yang berbau konspiratif, spekulatif dan mistis untuk menjawab segala rasa penasaran mereka secara singkat.
Tren seperti ini, sebut dia, tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi hampir di seluruh dunia. Termasuk negara barat yang memiliki pola pikir serta kemampuan finansial yang lebih baik dibandingkan masyarakat Indonesia.
“Penelitian Cambridge di sembilan negara selama enam tahun menunjukkan ternyata masyarakat barat sendiri, masyarakatnya juga semakin percaya dengan hal-hal yang sifatnya konspiratif, tidak rasional. Artinya, kita tidak bisa bilang bahwa masyarakat kita adalah bangsa atau masyarakat yang terbelakang,” kata dia.
“Ini tidak ada hubungannya dengan latar belakang pendidikan, ekonomi, suku, agama dan ras. Tapi ini lebih terkait pada kondisi, satu, sosial politik masyarakat, dua, kemanusiaan masyarakat itu sendiri,” imbuh Devie.
Baca juga: Bertemu Sultan HB X, Puan Maharani Bahas Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire
Sebagai contoh, ketika kontestasi politik berlangsung pada 2017 lalu, munculnya dua kutub kekuatan menguatkan polarisasi di masyarakat.
Hal itu tidak terlepas dari derasnya arus informasi yang juga mengalir ke media sosial, sehingga mengakibatkan masyarakat menjadi kian bingung dalam memilah informasi.
Persoalan timbul ketika tidak sedikit masyarakat Indonesia yang cenderung malas untuk bertanya dan mencari tahu kebenaran atas sebuah informasi.
Sementara, rasa tidak percaya terhadap tiga pihak sebelumnya, membuat mereka akhirnya ‘melarikan diri’ ke orang-orang terdekat seperti teman dan keluarga yang tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam menyaring informasi.
“Di sini kemudian potensi masuknya informasi yang tidak kredibel itu masuk. Kenapa? Kalau sudah teman yang bicara, keluarga yang bicara, kita tentu tidak akan lagi mempertanyakan. Karena artinya itu akan mengganggu hubungan sosial kita,” ucap Devie.
“Ketika ibu kita mengatakan, lho masa sih ibu kita akan membohongi kita? Jadi itu membuat informasi-informasi yang spekulatif, konspiratif, itu menjadi mudah untuk meresap masuk pikiran masyarakat,” imbuh dia.
Baca juga: Sunda Empire, Keraton Agung Sejagat, Dongeng Lama Harta Bank Swiss yang Terus Terulang
Di Indonesia, ia menambahkan, juga ada kecenderungan bahwa orang yang sering bertanya kerap dianggap bodoh atau justru sombong karena dianggap tahu segalanya.
“Itu secara kultural berbahaya. Masyarakat barat yang kritis saja tidak terbebas dari virus berita bohong, hoaks dan segala macam. Apalagi masyarakat yang secara budaya itu takut bertanya. Ini yang perlu dikikis bersama-sama untuk menjadi benteng berita spekulatif, konspiratif, maupun yang fiktif,” ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.