KABAR duka itu datang tiba-tiba, Sabtu (28/12/2019) malam, sekira pukul 23.00 WIB. Suara seorang teman yang menelepon saya terdengar bergetar.
“Sudah tahu (atau) belum, Nov, Bang Latief meninggal dunia?” tanya kawan itu.
Terperangah tak percaya. Namun, akhirnya otak harus mencerna bahwa ini kabar yang sebenarnya.
Terlebih lagi, beberapa orang lain berturut-turut menghubungi saya dengan kabar yang sama. Berentet pesan lewat aplikasi WhatsApp pun tiba tak berselang lama, menguatkannya.
Di kantor, dalam hal struktur organisasi kerja tim, saya adalah salah satu yang paling sering berkomunikasi dengan dia terkait pekerjaan.
Meja kami di kantor berhadapan. Kalau di meja, saya enggak perlu putar playlist lagu karena seringnya ia putar musik kencang-kencang. Untung selera musiknya bagus.
Di meja itu pula, kami sering bertukar buku. Saya yang lebih sering colong start untuk baca buku barunya, sih....
Dia atasan sekaligus mentor dan sahabat yang hampir lima tahun ini mengisi jajaran teratas daftar pengirim pesan WhatsApp tersering.
Hampir tiap hari kami berkomunikasi. Dari soal pekerjaan sampai urusan pribadi. Semua ditumpahin. Rasanya saya hampir tahu semua cerita tentang dia.
Sebut saja satu-satu. Hobi memancingnya. Tentang Mba Ina—istrinya—yang begitu suka dengan drama Korea.
Lalu soal abang dan adek—sebutan untuk dua anaknya—yang mulai memperlihatkan tanda-tanda puber menjelang remaja. Plus, gaya teman-teman di luar kantor yang sering berkomunikasi dengannya.
Baca juga: Obituari yang Kekurangan Kata untuk Kong Latip...
Selain diceritakan langsung, Mas Latief rajin posting kegiatan di laman media sosial. Celotehnya khas.
Alur penuturannya mengesankan dia punya banyak memori lekat dengan orang-orang di sekitarnya. Saya yang kebagian mendengar ceritanya atau membaca postingannya saja senang.
Habis, selalu ada saja hal jenaka di belakangnya....
Saking banyak yang mengenal ia, nama panggilannya juga banyak. Bahkan sebenarnya ejaan nama dia pun belum tentu semua orang tahu mana yang benar.