Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gara-gara Kata "Preman", Politikus PDI-P Ini Laporkan Akun @AndiArief_

Kompas.com - 12/12/2019, 08:55 WIB
Devina Halim,
Fabian Januarius Kuwado

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Politikus PDI Perjuangan Henry Yosodiningrat melaporkan akun Twitter politikus Partai Demokrat Andi Arief, yakni @AndiArief_ ke Bareskrim Polri atas tuduhan dugaan pencemaran nama baik.

Laporan yang dilayangkan Rabu (11/12/2019) tersebut diterima Piket Siaga Bareskrim Polri dengan nomor LP/B/1043/XII/2019/BARESKRIM tertanggal Rabu, 11 Desember 2019.

Hal yang dilaporkan adalah unggahan akun itu yang menyebut bahwa Henry adalah seorang preman.

"Tweet itu merupakan penghinaan dan telah mencemarkan nama baik saya serta nama baik keluarga besar saya," ungkap Henry melalui keterangan tertulis, Rabu (11/12/2019) malam.

Baca juga: Polri Tolak Laporan Henry Yosodiningrat soal Dugaan Pelecehan Rocky Gerung terhadap Jokowi

Berikut cuitan yang dipermasalahkan Henry:

"Kawan-kawan PDIP yang sekarang ada dan mendapatkan posisi dalam partau dan kekuasaan -- mayoritas PDIP otot--. Faksi otak tersingkir. Itu penjelasan kenapa preman seperti Hendriyosodiningrat melaporkan Rocky Gerung".

Henry menyertakan sejumlah bukti seiring dengan laporannya itu, antara lain tangkapan layar kicauan pemilik akun, salinan pemberitaan terkait kicauan tersebut serta hasil cetak arti kata "preman" dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Pemilik akun itu oun disangkakan Pasal 45 ayat (3) jo Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Baca juga: Senior Demokrat Kritik Rachland Nashidik, Ferdinand Hutahaean, dan Andi Arief

Pada hari yang sama, Henry Yosodiningrat juga melaporkan ke Bareskrim pemilik akun Instagram @rockygerungofficial_ dengan tuduhan pencemaran nama baik.

Laporan itu diterima polisi dan terdaftar dengan nomor LP/B/1042/XII/2019/BARESKRIM tertanggal Rabu, 11 Desember 2019.

Hal yang dilaporkan dalam akun itu, yakni caption foto yang menyebut Henry 'dungu'.

"Caption tersebut, yang menyebut saya sebagai orang dungu, merupakan penghinaan dan merupakan perbuatan yang sangat keji dan dilakukan dengan sengaja," ungkap Henry melalui keterangan tertulis, Rabu malam.

Baca juga: Politikus PDI-P Ini Kecewa Rocky Gerung Sebut Jokowi Tak Paham Pancasila

Pemilik akun, lanjut Henry, juga mengunggah foto yang menunjukkan pemberitaan mengenai penolakan laporan Henry sebelumnya oleh Bareskrim.

Foto itu adalah momen ketika Henry melaporkan mantan dosen filsafat Universitas Indonesia (UI) Rocky Gerung. Namun, laporannya ditolak.

Unggahan itu disertai caption sebagai berikut:

"Yang nge-lapor Dungu sih. Reposted from @tempodotco – Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri menolak laporan politikus PDIP Henry Yosodiningrat terhadap Rocky Gerung. Henry mengaku kecewa karena laporannya tersebut tidak diterima...". 

 

Kompas TV

Kenapa negara kita dalam mengatasi koruptor tidak terlalu tegas? Kenapa tidak berani seperti di negara maju, misalnya dihukum mati?

Pertanyaan tersebut diajukan oleh seorang siswa SMK Negeri 57 Jakarta bernama Harley Hermansyah kepada Presiden Jokowi di Hari Antikorupsi Sedunia pada Senin (9/12/2019).

Pertanyaan Harley itu kembali membuka perdebatan klasik mengenai perlu atau tidaknya hukuman mati bagi koruptor. Presiden Jokowi sendiri awalnya tertawa kecil mendengar pertanyaan itu. Ia lalu menjelaskan bahwa undang-undang yang ada saat ini memang tidak mengatur hukuman mati bagi koruptor.
 
"Ya, kalau di undang-undangnya memang ada yang korupsi dihukum mati, itu akan dilakukan. Tapi di UU tidak ada yang korupsi dihukum mati," kata Jokowi. 

Jokowi lalu bertanya ke Menteri Hukum dan HAM yang hadir pada acara tersebut. Yasonna menjelaskan bahwa aturan terkait ancaman hukuman mati saat ini hanya berlaku untuk pelaku korupsi terkait bencana alam. Aturan itu terdapat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). 

Selain korupsi dana bencana alam, hukuman mati juga bisa dikenakan pada korupsi pada saat negara krisis moneter atau kepada pelaku korupsi yang berulang kali melakukan perbuatannya. Kendati demikian, sampai saat ini belum ada koruptor yang sampai divonis mati oleh pengadilan.

"Yang sudah ada (aturannya) saja belum pernah diputuskan hukuman mati," lanjut Jokowi. 

Presiden Jokowi kemudian menjelaskan bahwa saat ini pemerintah berupaya membangun sistem pencegahan terhadap praktik korupsi. 

"Agar pejabat-pejabat yang ada itu tidak bisa melakukan korupsi, agar baik semua, agar pagarnya itu bisa menghilangkan korupsi yang ada di negara kita," ujar dia. 

"Tapi apa pun semua butuh proses negara-negara lain juga butuh proses ini, bukan barang gampang," lanjut Jokowi.

Lalu pantaskah sebenarnya koruptor dihukum mati? Apakah hukuman mati untuk para koruptor efektif untuk mencegah praktik korupsi di indonesia? Apakah pemiskinan, pencabutan hak politik, hingga larangan menduduki jabatan strategis lebih menimbulkan efek jera?

Untuk membahasnya sudah hadir di studio, anggota Komisi III DPR dari fraksi PDI Perjuangan Masinton Pasaribu dan Aktivis Antikorupsi Saor Siagian.

#KoruptorIndonesia #HukumanMatiKoruptor

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Prabowo-Gibran Akan Pidato Usai Ditetapkan KPU Hari Ini

Prabowo-Gibran Akan Pidato Usai Ditetapkan KPU Hari Ini

Nasional
Penetapan Prabowo-Gibran Hari Ini, Ganjar: Saya Belum Dapat Undangan

Penetapan Prabowo-Gibran Hari Ini, Ganjar: Saya Belum Dapat Undangan

Nasional
Prabowo-Gibran Sah Jadi Presiden dan Wapres Terpilih, Bakal Dilantik 20 Oktober 2024

Prabowo-Gibran Sah Jadi Presiden dan Wapres Terpilih, Bakal Dilantik 20 Oktober 2024

Nasional
[POPULER NASIONAL] Para Ketum Parpol Kumpul di Rumah Mega | 'Dissenting Opinion' Putusan Sengketa Pilpres Jadi Sejarah

[POPULER NASIONAL] Para Ketum Parpol Kumpul di Rumah Mega | "Dissenting Opinion" Putusan Sengketa Pilpres Jadi Sejarah

Nasional
Sejarah Hari Bhakti Pemasyarakatan 27 April

Sejarah Hari Bhakti Pemasyarakatan 27 April

Nasional
Tanggal 26 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 26 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Golkar Ungkap Faktor Keadilan Jadi Rumusan Prabowo Bentuk Komposisi Kabinet

Golkar Ungkap Faktor Keadilan Jadi Rumusan Prabowo Bentuk Komposisi Kabinet

Nasional
Soal Gugatan PDI-P ke PTUN, Pakar Angkat Contoh Kasus Mulan Jameela

Soal Gugatan PDI-P ke PTUN, Pakar Angkat Contoh Kasus Mulan Jameela

Nasional
Prabowo: Kami Akan Komunikasi dengan Semua Unsur untuk Bangun Koalisi Kuat

Prabowo: Kami Akan Komunikasi dengan Semua Unsur untuk Bangun Koalisi Kuat

Nasional
PDI-P Minta Penetapan Prabowo-Gibran Ditunda, KPU: Pasca-MK Tak Ada Pengadilan Lagi

PDI-P Minta Penetapan Prabowo-Gibran Ditunda, KPU: Pasca-MK Tak Ada Pengadilan Lagi

Nasional
Sedang di Yogyakarta, Ganjar Belum Terima Undangan Penetapan Prabowo-Gibran dari KPU

Sedang di Yogyakarta, Ganjar Belum Terima Undangan Penetapan Prabowo-Gibran dari KPU

Nasional
Pakar Nilai Gugatan PDI-P ke PTUN Sulit Dikabulkan, Ini Alasannya

Pakar Nilai Gugatan PDI-P ke PTUN Sulit Dikabulkan, Ini Alasannya

Nasional
Airlangga Klaim Pasar Respons Positif Putusan MK, Investor Dapat Kepastian

Airlangga Klaim Pasar Respons Positif Putusan MK, Investor Dapat Kepastian

Nasional
PDI-P Sebut Proses di PTUN Berjalan, Airlangga Ingatkan Putusan MK Final dan Mengikat

PDI-P Sebut Proses di PTUN Berjalan, Airlangga Ingatkan Putusan MK Final dan Mengikat

Nasional
Golkar Belum Mau Bahas Jatah Menteri, Airlangga: Tunggu Penetapan KPU

Golkar Belum Mau Bahas Jatah Menteri, Airlangga: Tunggu Penetapan KPU

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com