JAKARTA, KOMPAS.com - Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) dibentuk untuk menyelesaikan perdebatan soal penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Demikian disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dalam wawancara khusus kepada Kompas.com, Kamis (5/12/2019).
"Jangan karena ada yang menolak, ada yang setuju, lalu tidak diputuskan, itu tidak boleh. Itulah tugasnya UU, menyelesaikan yang setuju dan tidak setuju," kata Mahfud.
Baca juga: KKR dan Keadilan Hukum bagi Korban Pelanggaran HAM Berat
Sejumlah pihak, terutama korban pelanggaran HAM berat, menginginkan agar penyelesaian kasus dilakukan melalui jalur yudisial atau pengadilan.
Namun, ada pula alternatif lain yang beberapa kali dilontarkan pemerintah yaitu melalui jalur non-yudisial.
Menurut Mahfud, perdebatan yang ada saat ini membuat penyelesaian kasus-kasus tersebut menggantung.
Maka dari itu, segala pro dan kontra terkait hal tersebut sebaiknya disampaikan di DPR demi dicapai sebuah keputusan.
"Disampaikan di DPR, adu argumen lalu diputuskan. Kan selesai," ungkapnya.
Berdasarkan catatan Kejaksaan Agung, saat ini ada 12 kasus pelanggaran HAM berat yang belum dituntaskan.
Baca juga: Jubir Presiden: Draf UU KKR Sudah Selesai, Masuk Prolegnas 2020
Rinciannya, peristiwa Wasior, Wamena dan Paniai di Papua, serta peristiwa Jambo Keupok di Aceh.
Kemudian, Peristiwa 1965, peristiwa Penembakan Misterius (Petrus), Peristiwa Trisaksi, Semanggi I dan Semanggi II tahun 1998, peristiwa Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa.
Lalu, Peristiwa Talangsari, Peristiwa Simpang KKA, Peristiwa Rumah Gedong tahun 1989, Peristiwa dukun santet, ninja dan orang gila di Banyuwangi tahun 1998. Nantinya, KKR akan mengakomodir penyelesaian secara yudisial dan non-yudisial.
Mahfud menuturkan, jalur non-yudisial berlaku bagi kasus yang sudah kehilangan obyek dan subyeknya.
"Kalau rekonsiliasi kepada kasus-kasus yang tidak bisa ditemukan lagi obyek dan subyeknya yang sedang berjalan seperti Wasior dan Wamena, kawal penegakan hukum. Kan bisa," ungkapnya.
Sebelumnya, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Choirul Anam menegaskan bahwa pihaknya menolak mekanisme penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui mekanisme KKR.