Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Strategi Mahfud MD Tangani Fenomena "Industri Hukum", Mulai dari Menteri Hingga Kepala Daerah

Kompas.com - 09/12/2019, 17:59 WIB
Devina Halim,
Kristian Erdianto

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan, upaya untuk menangani fenomena "industri hukum" membutuhkan waktu yang panjang.

Pasalnya, fenomena tersebut sudah terjadi dari tingkat pusat hingga ke daerah. Oleh sebab itu, kata Mahfud, penanganannya harus dimulai dari pimpinan kementerian/lembaga di pusat.

"Mulai dari atas. Yang atas itu harus berani, tetapi jangan berharap selesai dalam waktu pendek, karena sudah sampai ke daerah-daerah," ungkap Mahfud dalam wawancara khusus dengan Kompas.com, Kamis (5/2/2019).

Baca juga: Mahfud MD Sebut Industri Hukum Jadi Penghambat Visi Presiden Jokowi

Menurutnya, fenomena "industri hukum" adalah ketika hukum disalahgunakan untuk kepentingan seseorang.

Ia menuturkan, fenomena itu tidak hanya ada pada lembaga penegak hukum. Jika terdapat suatu perkara, aparat kepolisian dan jaksa yang berwenang menangani.

Di luar itu, kata Mahfud, semua pejabat berperan sebagai penegak keadilan. Misalnya, pelanggaran kode etik.

"Aturan-aturan kan ada. Setiap pejabat yang melanggar prosedur di kantornya, meskipun tidak konflik, itu namanya tidak menegakkan hukum. Kan banyak pejabat yang sewenang-wenang tapi tidak jadi kasus karena tidak ada konflik hukum," katanya.

Baca juga: Mahfud MD Minta Hukum Jangan Dijadikan industri

 

Maka dari itu, selain polisi dan jaksa, penanganannya harus dimulai dari tingkat menteri atau kepala lembaga setingkat menteri hingga kepala daerah.

Para petinggi negara, kata Mahfud, harus bersih atau bebas dari korupsi. Apalagi, Presiden Joko Widodo telah memilih menteri untuk duduk di kabinetnya.

Artinya, para pimpinan lembaga itu yang harus membimbing anggotanya.

"Terapinya, kan presiden sudah memilih. Ya pejabat tertinggi di setiap institusi itu harus dia yang menterapi penyakit ini. Nanti, dia yang terapi, bawahnya yang menterapi lagi. Kan secara berjenjang begitu seharusnya," ujar Mahfud.

Baca juga: Polri Janji Tindak Tegas Personelnya yang Terlibat Mafia Hukum

Sebelumnya, Mahfud mengungkapkan bahwa fenomena "industri hukum" selama ini menjadi penghambat visi Presiden Joko Widodo dalam penegakan hukum.

Menurut Mahfud, sejak awal Jokowi sudah memiliki visi hingga konsep di sektor penegakan hukum. Kendati demikian, ia mengaku heran karena pelanggaran hukum tetap saja banyak terjadi.

Ternyata, dalam pandangan Mahfud, akar masalah itu disebabkan oleh adanya "industri hukum".

Misalnya, ia mencontohkan, ketika sebuah perkara sudah memasuki tahap eksekusi.

Namun, eksekusi dikatakan tidak dapat dilakukan karena ada laporan dugaan tindak pidana perihal penggunaan bukti palsu dalam kasus tersebut.

Padahal, bukti palsu tersebut sebenarnya tidak ada.

Contoh kedua yang disebutkan Mahfud, ketika seseorang mengancam orang lain untuk membayar sejumlah uang. Pelaku mengancam akan menjebloskan korban ke penjara apabila tidak membayar.

Pelaku akan memutar otak mencari pasal yang dapat digunakan agar korban dijebloskan ke penjara, hingga akhirnya korban membayar.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Anies Dinilai Masih Berpeluang Maju Pilkada Jakarta, Mungkin Diusung Nasdem dan PKB

Anies Dinilai Masih Berpeluang Maju Pilkada Jakarta, Mungkin Diusung Nasdem dan PKB

Nasional
Petuah Jokowi-Ma'ruf ke Prabowo-Gibran, Minta Langsung Kerja Usai Dilantik

Petuah Jokowi-Ma'ruf ke Prabowo-Gibran, Minta Langsung Kerja Usai Dilantik

Nasional
Kejagung Periksa 3 Saksi Terkait Kasus Korupsi Timah, Salah Satunya Pihak ESDM

Kejagung Periksa 3 Saksi Terkait Kasus Korupsi Timah, Salah Satunya Pihak ESDM

Nasional
Tak Dukung Anies Maju Pilkada Jakarta, PKS Dinilai Ogah Jadi “Ban Serep” Lagi

Tak Dukung Anies Maju Pilkada Jakarta, PKS Dinilai Ogah Jadi “Ban Serep” Lagi

Nasional
2 Prajurit Tersambar Petir di Mabes TNI, 1 Meninggal Dunia

2 Prajurit Tersambar Petir di Mabes TNI, 1 Meninggal Dunia

Nasional
Usung Perubahan Saat Pilpres, PKB-Nasdem-PKS Kini Beri Sinyal Bakal Gabung Koalisi Prabowo

Usung Perubahan Saat Pilpres, PKB-Nasdem-PKS Kini Beri Sinyal Bakal Gabung Koalisi Prabowo

Nasional
[POPULER NASIONAL] Anies-Muhaimin Hadir Penetapan Presiden-Wapres Terpilih Prabowo-Gibran | Mooryati Soedibjo Tutup Usia

[POPULER NASIONAL] Anies-Muhaimin Hadir Penetapan Presiden-Wapres Terpilih Prabowo-Gibran | Mooryati Soedibjo Tutup Usia

Nasional
Sejarah Hari Posyandu Nasional 29 April

Sejarah Hari Posyandu Nasional 29 April

Nasional
Tanggal 27 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 27 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Wakil Ketua KPK Dinilai Punya Motif Buruk Laporkan Anggota Dewas

Wakil Ketua KPK Dinilai Punya Motif Buruk Laporkan Anggota Dewas

Nasional
Jokowi Ungkap Kematian akibat Stroke, Jantung dan Kanker di RI Capai Ratusan Ribu Kasus Per Tahun

Jokowi Ungkap Kematian akibat Stroke, Jantung dan Kanker di RI Capai Ratusan Ribu Kasus Per Tahun

Nasional
Temui Jokowi, Prabowo dan Gibran Tinggalkan Istana Setelah 2 Jam

Temui Jokowi, Prabowo dan Gibran Tinggalkan Istana Setelah 2 Jam

Nasional
AJI Nilai Sejumlah Pasal dalam Draf Revisi UU Penyiaran Ancam Kebebasan Pers

AJI Nilai Sejumlah Pasal dalam Draf Revisi UU Penyiaran Ancam Kebebasan Pers

Nasional
Ketua KPK Sebut Langkah Nurul Ghufron Laporkan Anggota Dewas Sikap Pribadi

Ketua KPK Sebut Langkah Nurul Ghufron Laporkan Anggota Dewas Sikap Pribadi

Nasional
Daftar Hari Besar Nasional dan Internasional Mei 2024

Daftar Hari Besar Nasional dan Internasional Mei 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com