JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi Universitas Jember Bayu Dwi Anggono meminta elite politik tak perlu sibuk mengurus wacana pemilihan presiden digelar tidak langsung dan dikembalikan ke MPR.
Sebaiknya, kata dia, mereka fokus saja bekerja.
Sebab, Bayu menganggap wacana yang muncul belakangan itu kontraproduktif bagi pengembangan demokrasi di Indonesia.
"Elite politik sebaiknya harus memperkuat demokrasi, dia harus bisa mewujudkan janji-janji kampanyenya, dia bekerja. Bukan malah bahas wacana utak-atik sistem pemilihan. Kan pemilu baru berjalan, pemerintahan baru terbentuk, semua harusnya fokus bekerja," kata Bayu saat dihubungi, Minggu (1/12/2019).
Pakar hukum tata negara Universitas Jember ini menganggap elite politik seperti gagal memahami prioritas mereka jika sibuk mengembangkan wacana tersebut.
"Harusnya dia tidak lagi bicara wacana seperti ini lagi. Intinya bekerja saja. Rakyat menunggu mereka bekerja," tutur dia.
Bayu pun menganggap wacana itu seperti lagu lama yang terus diputar kembali.
"Sebenarnya banyak wacana strategis yang bisa kita angkat dalam rangka penyempurnaan tata negara kita. Tapi, membicarakan lagu lama soal presiden dipilih oleh MPR, kemudian masa jabatan presiden jadi tiga periode, hal-hal semacam itu kontraproduktif bagi penguatan demokrasi kita," kata Bayu.
Baca juga: Wacana Presiden Dipilih MPR Dianggap Lagu Lama
Bayu mengingatkan bahwa konsensus bersama sejak awal era Reformasi adalah memperkuat sistem presidensial.
Salah satu cirinya, presiden dipilih langsung oleh rakyat. Ketika presiden dipilih oleh MPR, akan berubah menjadi sistem parlementer.
"Padahal konsesus kita di era Reformasi itu kita ingin rakyat lebih kuat, maka ya presiden dipilih langsung rakyat. Lah ini kemudian apa? Alasan wacana seperti itu. Ini ketidaksiapan elite politik saja untuk memenangkan hati rakyat," kata Bayu.
"Mereka seperti enggan kemudian bekerja baik, bisa dinilai rakyat, sehingga mereka ambil jalan pintas sehingga bicara soal wacana ini presiden dipilih oleh MPR," lanjut dia.
Bayu pun mengkritik jika alasan wacana itu dikembangkan karena biaya politik yang tinggi dan menekan risiko konflik di masyarakat akibat kontestasi pemilihan presiden.
Ia mengakui bahwa dua hal itu merupakan bagian masalah dari sistem pemilihan yang belum sempurna. Namun demikian, bukan berarti sistem pemilihan diubah dengan mencoba mengambil kedaulatan rakyat.
"Benahi sistem pemilu kita, pengawasannya, politik tanpa mahar, kan begitu seharusnya. Kampanye selama ini efektif menggunakan anggaran dari negara, sebisa mungkin money politic itu ditindak tegas. Jadi ini memang ada persoalan dalam pemilu kita, dengan yang lain itu," katanya.