JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Presiden Ma'ruf Amin menilai, pilihan sistem pilkada langsung atau melalui DPRD sama-sama dilematis.
Ia mengatakan, dulunya pilkada melalui DPRD dianggap kurang demokratis sehingga muncul sistem pilkada langsung. Namun kini, pilkada langsung diprotes lantaran berbiaya besar dan sarat politik uang.
"Ya saya kira sistem itu tidak bisa sempurna. Dulu lewat DPRD dianggap kurang demokratis, reformasi minta langsung. Minta langsung ternyata juga ada kelemahan-kelemahan yaitu biayanya besar, kemudian money politic dan sebagainya," kata Ma'ruf di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Rabu (20/11/2019).
Karenanya, Ma'ruf mengatakan, pemerintah dan DPR harus mengkaji secara cermat sistem pilkada yang baru.
Baca juga: Ridwan Kamil Tak Setuju Pilkada Dipilih DPRD
Ia meminta sistem pilkada yang baru tetap mengakomodasi hak-hak rakyat dalam berdemokrasi sekaligus mampu menekan biaya dan politik uang.
"Solusinya kita cari bersama-sama karena itu perlu dibahas lebih teliti. Jadi kita jangan semacam harus begini saja, kajiannya harus cermat," ujar Ma'ruf.
"Jangan sampai kita asal bilang, wah ini ternyata tidak tepat. Nah solusi yang kita cari harus lebih tepat, kewenangannya ada di DPR tapi mendengarkan pendapat publik ya kemudian perlu dibahas secara lebih mendalam saya kira," kata dia.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengusulkan mekanisme pilkada secara langsung untuk dievaluasi, bukan diwakilkan kepada DPRD.
"Usulan yang saya sampaikan adalah, bukan untuk kembali ke A atau ke B, tetapi adakan evaluasi," kata Tito di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/11/2019).
Tito mengatakan, ia meminta pilkada langsung dievaluasi karena terdapat beberapa masalah dalam penyelenggaraannya. Menurut dia, pilkada langsung menyebabkan masyarakat di daerah terpolarisasi.
Baca juga: Kemendagri Nilai Revisi UU Pilkada Harus Bersamaan dengan UU Pemilu
Ia mencontohkan, Pilkada Papua pada 2012 yang ditunda karena terjadi perang suku.
"Saya sendiri sebagai mantan kapolri, mantan kapolda itu melihat langsung, misalnya di Papua 2012 saya menjadi kapolda di sana, Kabupaten Puncak itu empat tahun tertunda pilkadanya karena konflik perang," ujar dia.
Tito juga mengatakan, kelemahan pilkada langsung juga terkait biaya politik yang tinggi.
Menurut dia, biaya politik tinggi pada pilkada itu mulai dari dana yang dikeluarkan APBN dan APBD, hingga biaya yang harus dikeluarkan calon kepala daerah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.