JAKARTA, KOMPAS.com - Deputi Koordinasi Bidang Pendidikan dan Agama Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Agus Sartono menegaskan bahwa sertifikat bimbingan pranikah bagi pasangan calon pengantin tidak wajib dimiliki sebagai syarat pernikahan.
Artinya, pasangan yang tidak mengikuti bimbingan pernikahan dan tidak mendapat sertifikat tetap bisa menikah.
"Memahaminya lebih pada substansinya. Bukan berarti kalau tidak ikut (bimbingan pranikah) tidak boleh menikah, tetapi akan lebih bagus (ikut), supaya keluarganya jadi baik," ujar Agus di Kantor Kementerian PMK, Selasa (19/11/2019) usai bertemu Tim Pedoman Bimbingan Perkawinan Calon Pengantin Kementerian Agama (Binwin Catin Kemenag).
Kendati demikian, bimbingan pranikah tersebut tetap dibutuhkan demi pemahaman dan tanggung jawab sebagai calon orangtua kelak agar menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang unggul.
Baca juga: Pemerintah Bakal Tingkatkan Kualitas Bimbingan Pranikah, Ini Penjelasan Menko Muhadjir
Terlebih, kata dia, setiap tahunnya di Indonesia ada 2 juta pasangan pengantin baru dan 365.000 pasangan yang bercerai.
Guna mencegah itu, pemerintah ingin mendorong agar para calon pengantin memahami terlebih dahulu bagaimana cara membangun keluarga yang baik.
Oleh karena itu, Kemenko PMK akan menyempurnakan seluruh gagasan dan apa saja yang bisa dilakukan Kemenag terkait dengan pelaksanaan bimbingan pranikah ini.
Apalagi, selama ini, belum semua Kantor Urusan Agama (KUA) melakukan bimbingan pranikah.
Sebab, pelaksanaan bimbingan pranikah yang akan disempurnakan itu juga membutuhkan kerja sama dari beberapa pihak seperti Kemenag, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, hingga Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Agus juga memastikan, pasangan calon pengantin yang tak memiliki sertifikat karena tak mengikuti bimbingan pranikah masih tetap bisa menikah.
"Tetap bisa (menikah walau tak dapat sertifikat). Karena kami juga dari 2 juta pasangan pengantin baru (setiap tahun), kapasitas kelembagaan pemerintahan (untuk membimbing pranikah) baru menjangkau 10 persen," kata dia.
"Jadi kalau nanti kita bilang tidak boleh (menikah), nanti yang 90 persen boleh nikah dong? Kalau kita katakan wajib harus di KUA, kelembagaan KUA yang representatif punya tempat melakukan pelatihan juga belum semua," ucap dia.
Pihaknya pun menyadari kendala-kendala semacam itu sehingga saat ini sedang merumuskan cara bagaimana menerapkan metode yang tepat atas hal ini.
Hal senada disampaikan Anggota Tim Pedoman Binwin Catin Kemenag Alissa Wahid.
Dia memastikan bahwa tidak ada istilah lulus-tidak lulus dalam bimbingan pranikah yang dilakukan.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.