JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri Nata Irawan menegaskan, 56 desa yang ada di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, sah secara historis dan sosiologis.
Meskipun desa tersebut dibentuk sebelum adanya Undang-Undang Desa, keseluruhannya tidak fiktif dan nyata keberadaannya.
"Memedomani Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa disebutkan dalam Pasal 116 ayat (1) menyatakan bahwa desa yang sudah ada sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tetap diakui sebagai desa," kata Nata di Gedung Kemendagri, Jakarta Pusat, Senin (18/11/2019).
"Maka, sebanyak 56 desa tersebut secara historis dan sosiologis sah sebagai desa," lanjut dia.
Baca juga: Heboh Desa Fiktif, Mendagri Akan Surati Kepala Daerah untuk Tata Ulang Desa
Meskipun sah kedudukannya berdasarkan historis dan sosiologis, menurut Kemendagri, desa-desa tersebut cacat hukum.
Pasalnya, berdasarkan landasan hukum yang menjadi dasar pembentukan desa, yaitu Perda Nomor 7 Tahun 2011, desa-desa itu dibentuk tidak melalui mekanisme dan tahapan di DPRD.
Dari 56 desa itu, didapati fakta bahwa 34 desa memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai desa.
Selanjutnya, 18 desa masih perlu pembenahan di dalam aspek administrasi dan kelembagaan serta kelayakan sarana prasarana desa.
Sedangkan empat desa, yaitu Desa Arombu Utama Kecamatan Latoma, Desa Lerehoma Kecamatan Anggaberi, Desa Wiau Kecamatan Routa, dan Desa Napooha Kecamatan Latoma, didalami lebih lanjut karena ditemukan inkonsistensi data jumlah penduduk dan luas wilayah desa.
Hasilnya, dari empat desa itu, dua desa yaitu Desa Wiau dan Desa Napooha masih perlu pendalaman hukum secara intensif.
Baca juga: Investigasi Desa Fiktif oleh Kemendagri Rampung, Ini Hasilnya...
"Serta didapatkan data dan informasi bahwa dari register perda di sekretariat DPRD Kabupaten Konawe, Perda Nomor 7 Tahun 2011 tersebut adalah perda pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran dan belanja daerah tahun anggaran 2010," ujar Nata.
"Oleh karenanya, 56 desa yang tercantum dalam perda tersebut secara yuridis dikatakan cacat hukum," lanjutnya.
Atas hal tersebut, Kemendagri meminta Bupati Konawe mengevaluasi Perda Nomor 7 Tahun 2011.
"Saya minta kepada Bupati Konawe, kebetulan beliau hadir di sini bersama Pak Gubernur, dan saya juga sudah minta izin mendagri bahwa perda tersebut harus dilakukan evaluasi," kata dia.