JAKARTA, KOMPAS.com - Data Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menunjukkan Kepolisian menjadi institusi yang paling banyak melanggar hak untuk berekspresi dan menyampaikan pendapat.
Padahal, hak untuk berekspresi dan menyampaikan pendapat di muka umum dijamin oleh Undang-Undang, salah satunya adalah UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Ketua YLBHI Bidang Advokasi Muhammad Isnur mengatakan, temuan tersebut merupakan hasil pemantauan YLBHI dan 16 LBH Indonesia selama Januari-22 Oktober 2019.
"Paling tinggi 67 kasus atau 69 persen pelakunya institusi Polri dari berbagai level, Mabes Polri, Polda, Polres, hingga Polsek," kata Isnur di Kantor YLBHI, Jakarta, Minggu (27/10/2019).
Pihaknya juga mengidentifikasi berbagai pola yang paling banyak dilakukan polisi dalam pelanggaran hak untuk berekspresi dan menyampaikan pendapat di muka umum tersebut.
Antara lain kriminalisasi, tindakan kekerasan, pembubaran tidak sah, penghalangan atau pembatasan aksi, perburuan dan penculikan, tindakan yang berkaitan dengan alat atau data pribadi, hingga penghalangan pendampingan hukum.
"Penghalangan aksi ada 32 kejadian dengan cara sweeping, penggeledahan, razia atau penghalangan," kata Isnur.
"Pembubaran paksa ada 57 kasus, di lapangan aparat bertindak berlebihan dengan gas air mata, water canon, peluru karet bahkan di Kendari, ketika aksi Mei ditemukan peluru tajam. Pembubaran paksa ini dilakukan, walaupun aksi sedang berjalan normal," lanjut dia.
Dia mencontohkan, ketika aksi mahasiswa di depan Gedung DPR pada 23-24 September lalu.
Ketika sore hari, massa mahasiswa masih diam dan tidak melakukan tindakan anarkistis.
Namun, kata dia, massa tiba-tiba dilempari gas air mata dan diserang dengan water canon.
Temuan LBH juga menunjukkan kasus kejadian kriminalisasi dengan angka cukup tinggi.
Antara lain 43 kejadian salah tangkap yang levelnya sampai ke pengadilan dan penahanan yang mencapai 38 kejadian.
"Kemudian tindakan kekerasan, dengan total 68 kali kejadian. Didalamnya ada pengancaman, intimidasi dan dikeluarkan dari sekolah atau institusi, tidak dapat SKCK disertai stigma, diskriminasi, stereotipe atau rasisme sebanyak 9 kali kejadian dan yang cukup tinggi adalah tindakan penganiayaan, penyiksaan hingga penggunaan peluru tajam," kata dia.
Selain polisi, aktor lainnya yang melakukan pelanggaran adalah TNI 7 persen, organisasi masyarakat (ormas) sebanyak 5 persen, universitas/kampus 8 persen, sekolah 4 persen, Satpol PP 2 persen, pemerintah kota 1 persen, pemerintah pusat 2 persen hingga pemerintah provinsi dan babinsa 1 persen.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.