JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun menilai, komposisi Kabinet Indonesia Maju Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin wujud kuatnya pengaruh oligarki politik dan ekonomi.
Hal itu disampaikan Ubedilah dalam diskusi bertajuk Menakar dan Memproyeksikan Komitmen HAM Pemerintah Melalui Komposisi Kabinet di kantor Kontras, Jakarta, Jumat (25/10/2019).
"Ini bentuk dominasi oligarki politik dan oligarki ekonomi kita. Mengapa? Karena Pemilu kita berbiaya mahal. Untuk menjadi presiden kalkulasi saya butuh biaya triliunan. Kalau yang dilaporkan kan paling hampir satu triliun ya. Tapi kan banyak orang nyumbang," kata Ubedilah.
Baca juga: PKS Khawatir jika Tak Ada Oposisi, Pemerintahan Akan Jadi Oligarki
Para penyumbang itu juga berasal dari kelompok pengusaha. Mereka tidak memberikan bantuan berupa uang, tapi berupa logistik untuk mendukung kampanye.
Sumbangan-sumbangan itu juga dinilainya tidak bisa dikontrol. Sehingga, nilai biaya kampanye pun semakin tinggi.
"Dan itu kan angkanya bisa lebih dari yang dilaporkan. Pertanyaan saya, Prabowo dan Jokowi punya uang berapa? Kan sudah bisa dicek ya kekayaannya juga tidak sebanyak itu," kata dia.
Baca juga: 8 Catatan Kritis untuk Kementerian Keuangan Kabinet Indonesia Maju
"Dapat dari mana uang untuk kontestasi itu? Di situ lah oligarki ekonomi masuk dan bersatu dengan oligarki politik, kekuatan politik partai di mana ada dinasti politik, ada patriarki politik dan lain-lain," sambung Ubedilah.
Situasi inilah yang memengaruhi komposisi kabinet Jokowi di periode keduanya. Ubedilah meyakini ada pengaruh kepentingan dari oligarki politik dan ekonomi.
"Bisa kita cek kok nama-nama mereka, pasti mereka ada jejaring dengan oligarki politik dan ekonomi. Enggak mungkin tidak berjejaring mereka," kata dia.
Presiden Jokowi dinilainya terjebak di antara dua kepentingan itu.
Ia pun agak pesimistis apakah nantinya Jokowi bisa menghasilkan lompatan baru di tengah situasi seperti itu. Termasuk dalam penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
"Ya saya menunggu apakah presiden bisa melakukan lompatan di situasi itu. Misalnya berani enggak membentuk atau mengimplementasikan pengadilan HAM? Kan sampai hari ini kan problem HAM itu kita tidak pernah berani membuatnya," kata dia.
Apalagi, lanjut Ubedilah, ada menteri di kabinet Jokowi yang diduga tersangkut dengan kasus pelanggaran HAM masa lalu.
"Jadi berat. Tapi di dalam politik ya memang bisa saja berubah. Kita lihat nanti ke depannya," kata dia.