MENJELANG Pilpres 2019, Indonesia dibanjiri penggunaan media sosial yang luber dan berlebihan.
Isi dari media sosial itu kebanyakan fitnah, ujaran kebencian, hoaks, misinformasi dan disinformasi yang digalang untuk memenangkan opini.
Beberapa konten dengan terang menyerang kepemimpinan dengan memprovokasi untuk mengingkari pilihan mayoritas rakyat, beberapa secara benderang memecah belah bangsa dengan isu agama dan mendorong pemisahan kawasan.
Indonesia bukan negara pertama mengalami serangan pemecahan semangat bernegara seperti ini.
Guatemala pernah mengalaminya dan sebuah negara asing berhasil menjatuhkan kepemimpinan sah sebuah negara berdaulat dengan hantaman isu-isu sentral.
Juan Jacobo Arbenz Guzman adalah persiden ke-25 Guatemala.
Arbenz meniti karier lewat jalur militer lalu menjadi politisi dan terpilih menjadi presiden Guatemala tahun 1951.
Dia memenangkan pemilu dengan selisih suara jauh lebih dari 50 persen.
Rakyat suka programnya untuk membersihkan negeri dari tikus dan benalu yang menggerogoti negeri.
Tapi justru karena tekadnya membersihkan negeri inilah yang membuat dia berhadapan dengan korporasi internasional.
Dia menjadi sasaran utama untuk ditumbangkan oleh mereka yang terinjak jempol kakinya dan didukung oleh negeri adi daya, Amerika Serikat.
Cara menjatuhkannya adalah strategi komunikasi dengan taktik public relations.
Arbenz menggantikan diktator Jorge Ubico, presiden dukungan AS yang menerapkan praktik kejam atas kalangan buruh yang hanya bisa disandingkan dengan kekejaman Adolf Hitler.
Ubico mendapat julukan one of the most oppressive tyrants Guatemala has ever known.
Ubico, misalnya, memberikan konsesi tanah sangat luas kepada perusahaan Amerika United Food Company.
Ubico digulingkan oleh kelompok pro-demokrasi yang membawa Guatemala pada revolusi 10 tahun sejak 1944.
Mengawali jabatan sebagai presiden pada Maret 1951 menggantikan Francisco Arana yang menerapkan reformasi sosial besar-besaran, Arbenz melanjutkan kebijakan reformasi sosial Arana tersebut.
Di antara kebijakan reformasi sosial itu antara lain memberikan hak rakyat untuk memilih, mengizinkan buruh berorganisasi, mengesahkan partai politik, dan mengizinkan debat publik.
Puncak dari terobosan Arbenz adalah undang-undang reformasi agraria yang dikenal dengan Decree 900.
Undang-undang ini mengambil alih kepemilikan lahan luas yang tidak ditanami untuk dikembalikan kepada para petani miskin dan terpinggirkan.
Sebagian besar rakyat mendapatkan hak untuk mengelola tanah yang tidak ditanami tersebut.
Undang-undang ini ibarat injakan keras atas jempol kaki United Food Company.