JAKARTA, KOMPAS.com - Dunia politik di Indonesia masih terjebak dalam demokrasi kultus di mana patron ketua umum partai politik sangat kuat dalam menentukan arah kebijakan.
Demikian diungkapkan pengamat politik Yunarto Wijaya dalam diskusi bertajuk Politik Gagasan di Era Post Ideologi di kawasan Sarinah, Jakarta Pusat, Kamis (3/10/2019).
"Peralihan sebenarnya sudah ada dengan perbaikan (demokrasi). Tapi demokrasi langsung ditentukan ketua umumnya, demokrasi yang sebatas mereka tunggu perintah ibu atau bapak," ujar Yunarto.
Baca juga: F-PKS Minta Kembalinya Haluan Negara Jangan karena Keinginan Partai Politik
Akibatnya, partai politik tidak mengedepankan gagasan yang inovatif dan baru. Partai politik saat ini tenggelam di dalam pragmatisme sang pimpinan.
Politikus-politikus yang mencoba mendobrak ini, lanjut Yunarto, kerap terbentur pada persoalan akar rumput yang juga memiliki patron kuat terhadap ketua umum.
Bahkan, apabila terus menerjang arus, politikus tersebut berpotensi kehilangan suara.
"Siapa yang berani mulai nekad untuk tabrak tradisi ini? Problemnya adalah ketika bicara jangka pendek, kita berhdapan dengan pemilih sudah seperti itu," ujar Yunarto.
"Kalau kita buat tradisi baru, taruhannya jangan-jangan elektoral," lanjut dia.
Baca juga: Peta Sikap Partai Politik soal Rencana Pemindahan Ibu Kota ke Kaltim
Oleh sebab itu, Yunarto berharap bahwa politik yang mengedepankan gagasan harus dimulai dari para elite partai politik sendiri.
"Tidak bisa dimulai dari bawah, harus dari atas. Apa yang buat partai gambling mempertaruhkan elektoral agar berani lakukan itu?" pungkas dia.