JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari berpendapat, wajar jika banyak pihak menolak Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Pasal-pasal dalam RKUHP, kata Feri, tidak sedikit yang berseberangan dengan kehidupan masyarakat.
"Wajar saja mereka menolak ya karena beberapa hal kemudian dianggap justru berseberangan dengan pola kehidupan yang mereka jalani," kata Feri kepada Kompas.com, Jumat (20/9/2019).
Feri menilai, hak-hak sipil masyarakat terancam terpenjara jika RKUHP disahkan.
Sebab, ada pasal yang mengatur tentang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden.
Baca juga: Kritik Revisi KUHP, Pakar Hukum: Kita Sedang Krisis Negarawan
Ada juga pasal tentang hidup bersama tanpa status pernikahan atau kumpul kebo, hingga pasal-pasal lain yang masuk dalam ranah sipil.
Dalam Pasal 218 misalnya, disebutkan bahwa setiap orang yang dianggap menyerang kehormatan presiden dan wakil presiden bisa dipidana maksimal 3,5 tahun atau denda Rp 150 juta.
Kemudian, Pasal 219 menyebut bahwa setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar yang dianggap menyerang kehormatan dan martabat presiden dan wakil presiden di depan publik terancam hukuman paling lama empat tahun enam bulan atau denda paling banyak kategori IV, yakni maksimal Rp 150 juta.
Selain itu, dalam Pasal 419 Ayat (1) diatur bahwa setiap orang yang hidup bersama sebagai suami-istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
Kemudian, dalam Ayat (2) tertulis bahwa tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tidak dapat dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, orangtua, atau anaknya.
Tak berhenti sampai situ, ada penambahan Ayat (3) yang menyatakan, pengaduan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) dapat juga diajukan kepala desa atau dengan sebutan lainnya, sepanjang tidak terdapat keberatan dari suami, istri, orangtua atau anaknya.
Baca juga: Ratusan Massa Tolak RUU KUHP, Lalu Lintas di Depan Gedung DPR Dialihkan
Aturan-aturan tersebut, menurut Feri, seolah membawa Indonesia kembali ke Orde Baru karena hak-hak sipil terpenjara.
"Ini satu paket untuk kemudian membangun sebuah rezim yang mungkin dianggap oleh publik lebih mirip dengan rezim Orde Baru, memenjarakan hak-hak sipil politik dan segala macamnya yang kemudian mengekang pihak-pihak dalam bersuara dalam bertindak dalam berkegiatan," ujar Feri.
"Itu yang kemudian dirasakan publik sehingga proses itu menjadi meluas," ucap Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas itu.
Sebelumnya, ratusan mahasiswa dan sejumlah elemen masyarakat menggelar aksi di depan Gedung DPR RI, Kamis (19/9/2019).
Aksi unjuk rasa mereka lakukan merespons rencana pemerintah untuk mengesahkan RKUHP yang pasal-pasalnya dinilai bermasalah.
DPR menjadwalkan pengesahan RKUHP dalam rapat paripurna pada akhir September.