JAKARTA, KOMPAS.com - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai wilayah pesisir selatan di Jawa semakin rentan terkena bencana akibat investasi dan pembangunan yang tak mengedepankan analisis risiko bencana.
Hal itu dipaparkan Direktur Walhi di sejumlah provinsi di Jawa dalam diskusi bertajuk Ambisius Pembangunan Infrastruktur dan Potensi Terjadinya Bencana di kantor Walhi, Jakarta, Selasa (17/9/2019).
"Presiden Jokowi misalnya pernah menyampaikan bahwa tidak boleh ada pembangunan di kawasan rawan bencana baik bandara, bendungan, perumahan tapi faktanya statement itu tidak begitu mencerminkan dalam kebijakan," kata Direktur Walhi Yogyakarta Halik Sandera dalam paparannya.
Baca juga: Pembangunan Ibu Kota Baru Bisa Tangkal Risiko Resesi?
Ia mencontohkan, proyek Bandara Udara New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kulon Progo. Halik menjelaskan, proyek itu berada di pesisir selatan Jawa yang memiliki risiko tinggi terjadi bencana.
"Dengan adanya pembangunan bandara di pesisir selatan semacam itu kemudian semakin meningkatkan kerentanan dan kerawanan bencana di pesisir selatan Jawa," katanya.
Apalagi, kata Halik, kawasan sekitar Bandara NYIA itu akan mengusung konsep kota bandara. Ketika itu terwujud, aktivitas investasi dan pembangunan bisa semakin tak terkontrol karena mengikuti perkembangan pasar.
"Di Kulon Progo ini memicu kerawanan dan kerusakan eksploitasi di wilayah lain. Misalnya, Borobudur dekat dengan Yogyakarta. Kemudian ada proyek infrastruktur bedah menoreh artinya perbukitan yang menghubungkan Yogyakarta dengan Magelang. Padahal status bedah menoreh itu secara kebencanaan dia jadi kawasan rawan longsor tingkat tinggi," ungkap dia.
Yogyakarta, kata Halik, juga gencar mengembangkan sektor pariwisata. Meski demikian, investasi dan pembangunan pariwisata di Yogyakarta juga mengesampingkan analisis risiko bencana.
"Misalnya investasi di kawasan karst untuk pembangunan resor, industri peternakan, dan lainnya, berada di pesisir selatan ini juga mengancam masyarakat di Yogyakarta. Yang paling krusial adalah terjadinya krisis air," ujar dia.
Sementara itu, Direktur Walhi Jawa Timur Rere Christianto memaparkan, di pesisir selatan Jawa Timur ada sejumlah ancaman bencana alam. Misalnya, gempa, abrasi, angin kencang dan tanah longsor.
"Nah di Jawa Timur, kami menemukan ada setidaknya model investasi yang menyebabkan kenaikan angka kerawnanan bencana itu. Tanpa model itu saja kami menemukan bentuk ancaman bencana, gempa, abrasi, rob, angin kencang, longsor dan banjir," ungkapnya.
Model investasi yang dimaksud Rere seperti tambang pasir besi, tambang emas, tambang tembaga, dan proyek jalan yang melintasi kawasan pesisir selatan Jawa.
"Kerawanan wilayah itu menjadi tinggi, karena proyeknya misalnya ada di wilayah Ring of Fire, ada yang di perbukitan, kemudian secara wilayah menyebabkan potensi bencana. Ancaman tambahan misalnya gagal panen atau kerusakan area tangkap pesisir atau berkurangnya pendapatan masyarakat," kata dia.
Rere menjelaskan, jika wilayah sumber kehidupan masyarakat dirusak oleh kepentingan aktivitas tambang dan proyek infrastruktur, berisiko melemahkan daya dukung masyarakat saat menghadapi bencana.
Baca juga: Penggunaan Robot Pengaruhi Arus Perdagangan dan Investasi
"Kalau secara wilayah ekologi masih mendukung, persawahannya berjalan baik, wilayah tangkapnya berjalan baik, ekonomi masyarakat berjalan dengan baik. Ketika terjadi bencana setidaknya masyarakat punya kapasitas memulihkan dirinya," kata Rere.
"Tapi begitu wilayah-wilayah mereka dirusak tentu saja daya masyarakat menurun. Misalnya begitu gagal panen karena wilayahnya dirusak atau wilayah tangkapnya tidak bisa dipakai, begitu terjadi bencana, pendapatannya menurun. Itu meningkatkan kerentanan masyarakat," lanjut dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.