JAKARTA, KOMPAS.com - Pada akhir 2008, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pernah membuat penelitian untuk memetakan masalah utama di Papua.
Berdasarkan penelitian tersebut, LIPI memetakan empat isu utama di Papua, salah satunya, kekerasan yang dilakukan oleh negara dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Peneliti LIPI Adriana Elisabeth mengatakan, hingga saat ini siklus kekerasan di Papua belum bisa dihentikan. Kekerasan yang dialami warga Papua secara berkelanjutan tidak hanya berasal dari negara atau aparat keamanan, tetapi juga kelompok sipil bersenjata.
Menurut Adriana, faktor kekerasan itu juga menjadi pemicu gejolak yang terjadi di Papua belakangan ini.
Baca juga: Belum Tarik Personel BKO di Papua, Ini Pertimbangan Polri
"Soal kekerasan negara dan pelanggaran HAM. Jelas pelaku kekerasan bukan lagi hanya negara tapi juga kelompok sipil bersenjata. Nah itu menunjukkan siklus kekerasan di papua itu memang belum bisa dihentikan," ujar Adriana dalam diskusi 'Mengurai Akar Masalah dan Kondisi Terkini Papua', di Menara Kompas, Jakarta Barat, Kamis (5/9/2019).
Catatan Kompas.com, pada periode 1998 hingga 2016, tercatat lima kasus pelanggaran berat HAM terjadi di Papua.
Lima kasus itu adalah kasus Biak Numfor pada Juli 1998, peristiwa Wasior pada 2001, peristiwa Wamena pada 2003, peristiwa Paniai pada 2014, dan kasus Mapenduma pada Desember 2016.
Secara umum, kasus pelanggaran HAM itu terkait cara aparat keamanan dalam menangani aksi demonstrasi masyarakat Papua. Isu disintegrasi yang membayangi Papua memperparah keadaan.
Namun, hingga saat ini tidak jelas upaya penuntasan seluruh kasus tersebut.
Adriana mengatakan, jika pemerintah ingin menuntaskan akar permasalahan di Papua, maka kasus kekerasan dan pelanggaran HAM harus berujung pada mekanisme penyelesaian.
Baca juga: Bamsoet: Selesaikan Permasalahan di Papua dengan Solusi Ini
Mekanisme penyelesaian yang dapat ditempuh pemerintah, yakni pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan pengadilan HAM.
Meski UU KKR telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, namun inisiatif pemerintah untuk memulai rekonsiliasi penting dilakukan agat dapat memutus rantai kekerasan di Papua.
"Kekerasan di papua dan masalah HAM ini harus menuju pada terbentuknya Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi dan pengadilan HAM. Mau tidak mau itu harus ada di situ. Memang UU KKR dibatalkan, tapi kalau situasi ini menurut saya harus ada KKR. Kalau tidak ada seperti itu susah," kata Adriana.
Hal senada juga diungkapkan oleh Koordinator Jaringan Gusdurian Indonesia Alissa Wahid.
Menurut Alissa, persoalan kekerasan dan diskriminasi membuat orang Papua merasa nyawanya tidak dihargai.
Baca juga: Kita Tak Punya Tokoh yang Paham Persoalan di Papua seperti Gus Dur
Ditambah lagi dengan kasus penembakan terhadap warga sipil dan kasus pelanggaran HAM yang tidak dituntaskan oleh pemerintah.
Akibatnya, tingkat kepercayaan masyarakat Papua terhadap Pemerintah Indonesia memang sangat rendah dan pemerintah menjadi kesulitan dalam mengantisipasi gejolak yang terjadi di Papua.
"Kita banyak bicara dengan teman-teman Papua. Mereka menyampaikan bahwa salah satu yang melukai hati mereka adalah kenapa bebrapa kali penembakan terjadi di Papua tidak ada kejelasan penindakannya. Jadi ada perasaan bahwa nyawa orang Papua itu tidak dihargai," ujar Alissa saat dihubungi Kompas.com, Rabu (4/9/2019).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.