Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Presiden Jokowi Dinilai Punya Alasan Kuat Menolak Revisi UU KPK

Kompas.com - 06/09/2019, 17:05 WIB
Kristian Erdianto,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus berpendapat, saat ini Presiden Joko Widodo memiliki alasan kuat untuk tidak menyetujui pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).

Menurut Lucius, berbagai penolakan dari masyarakat sipil dan pegiat antikorupsi dapat menjadi alasan Presiden Jokowi tidak mengirimkan Surat Presiden (Surpres) ke DPR.

Sebab Surpres menjadi dasar dimulainya pembahasan revisi UU KPK.

"Saya kira penolakan masyarakat atas rencana merevisi UU KPK sudah seharusnya jadi alasan bagi Presiden untuk tidak mengeluarkan Surpres tersebut," ujar Lucius saat dihubungi Kompas.com, Jumat (6/9/2019).

Baca juga: Soal Revisi UU KPK, Saut Situmorang: Kalau Memperlemah, Tolak, Titik!

Lucius menjelaskan, revisi UU KPK merupakan usul inisiatif yang berasal dari DPR. Oleh sebab itu, untuk mulai pembahasan maka DPR membutuhkan Surpres.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus di Kantor Indonesia Corruption Watch, Kalibata Timur, Jakarta Selatan, Rabu (31/10/ 2018).KOMPAS.com/Reza Jurnaliston Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus di Kantor Indonesia Corruption Watch, Kalibata Timur, Jakarta Selatan, Rabu (31/10/ 2018).

Surpres memuat keterangan soal menteri yang ditunjuk oleh Presiden Jokowi sebagai wakil pemerintah dalam proses pembahasan revisi UU KPK.

"Memang mesti ada Supresnya karena di Surpres itulah keterangan soal kementerian yang akan ditugaskan presiden untuk mewakilinya dalam proses pembahasan bersama DPR," kata Lucius.

Baca juga: Usul Revisi UU KPK Disebut Datang dari Fraksi PDI-P, Golkar, Nasdem, dan PKB

Saat dikonfirmasi Kompas.com, Sekjen DPR Indra Iskandar mengatakan pihaknya belum menerima Surpres terkait pembahasan revisi UU KPK.

Seperti diketahui rencana revisi UU KPK sempat mencuat pada 2017 lalu. Namun rencana tersebut ditunda karena mendapat penolakan keras dari kalangan masyarat sipil pegiat antikorupsi.

Mereka menilai poin-poin perubahan dalam UU tersebut akan melemahkan KPK.

Revisi UU KPK kembali mencuat dan disepakati dalam Rapat Paripurna pada Kamis (5/9/2019).

Kompas TV Seluruh fraksi di DPR setuju Undang - Undang tentang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi direvisi.<br /> <br /> Sejumlah poin krusial termuat dalam materi revisi UU KPK. KPK di masa mendatang akan diawasi dewan pengawas yang punya kewenangan khusus memberi izin penyadapan. Apa dampaknya bagi KPK? Dan apa yang bisa dilakukan agar tidak ada lagi upaya untuk melemahkan lembaga antirasuah itu?<br /> <br /> Akan dibahas bersama koordinator divisi korupsi politik ICW Donal Fariz dan melalui sambungan skype sudah terhubung dengan wakil ketua DPR Fahri Hamzah. #RevisiUUKPK #KKPK #UUKPK
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Nasional
Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Nasional
KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

Nasional
Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Nasional
Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Nasional
Minta MK Urai Persoalan pada Pilpres 2024, Sukidi: Seperti Disuarakan Megawati

Minta MK Urai Persoalan pada Pilpres 2024, Sukidi: Seperti Disuarakan Megawati

Nasional
PPATK Bakal Tindaklanjuti Informasi Jokowi soal Indikasi Pencucian Uang lewat Aset Kripto Rp 139 Triliun

PPATK Bakal Tindaklanjuti Informasi Jokowi soal Indikasi Pencucian Uang lewat Aset Kripto Rp 139 Triliun

Nasional
Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Koarmada I Siapkan KRI Halasan untuk Tembak Rudal Exocet

Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Koarmada I Siapkan KRI Halasan untuk Tembak Rudal Exocet

Nasional
Yusril: Tak Ada Bukti Kuat Kubu Prabowo-Gibran Curang di Pilpres 2024

Yusril: Tak Ada Bukti Kuat Kubu Prabowo-Gibran Curang di Pilpres 2024

Nasional
Hakim MK Diminta Selamatkan Konstitusi lewat Putusan Sengketa Pilpres 2024

Hakim MK Diminta Selamatkan Konstitusi lewat Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
MK Bakal Unggah Dokumen 'Amicus Curiae' agar Bisa Diakses Publik

MK Bakal Unggah Dokumen "Amicus Curiae" agar Bisa Diakses Publik

Nasional
PSI Punya 180 Anggota DPRD, Kaesang: Modal Baik untuk Pilkada

PSI Punya 180 Anggota DPRD, Kaesang: Modal Baik untuk Pilkada

Nasional
Polri Sebut 8 Teroris yang Ditangkap di Sulteng Pernah Latihan Paramiliter di Poso

Polri Sebut 8 Teroris yang Ditangkap di Sulteng Pernah Latihan Paramiliter di Poso

Nasional
MK Kirim Surat Panggilan untuk Hadiri Pembacaan Putusan Sengketa Pilpres 2024

MK Kirim Surat Panggilan untuk Hadiri Pembacaan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Putusan MK Soal Sengketa Pilpres 2024 Dinilai Bakal Tunjukan Apakah Indonesia Masih Negara Hukum

Putusan MK Soal Sengketa Pilpres 2024 Dinilai Bakal Tunjukan Apakah Indonesia Masih Negara Hukum

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com