JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai, Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan tak disahkan dulu karena belum adanya pengaturan mengenai mekanisme penyelesaian konflik agararia yang komprehensif.
"Ini mengkhawatirkan dan sebaiknya jangan disahkan dulu karena belum adanya pengaturan mengenai mekanisme penyelesaian konflik agararia yang komprehensif. Ini akibat dari kebijakan pemerintahan masa lalu yang otoriter," ujar Wakil Ketua Bidang Eksternal Komnas HAM Sandrayati Moniaga,dalam diskusi terkait RUU Pertanahan di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Jumat (6/9/2019).
Baca juga: RUU Pertanahan Diklaim Pangkas Tumpang Tindih Pengelolaan
Menurut dia, hingga kini tidak ada upaya pemerintah yang tertuang dalam RUU untuk menyelesaikan konflik agraria lantaran hanya mengutamakan win-win solution atau pengadilan pertanahan.
Sandrayati menilai, rumusan pendaftaran lahan dengan single land administration dan sistem pengadilan lahan pada RUU Pertanahan tidak efektif dalam menyelesaikan konflik agraria.
Baginya, pendaftaran administrasi lahan tidak fokus pada lahan yang berkonflik atau dalam sengketa.
"Dari pendaftaran tanah itu kan ketahuan masalah-masalah pertanahan di tingkat desa, ini (yang ada di RUU) kan enggak, ini hanya mendaftarkan, mencatat yang dianggap oleh ATR/BPN itu clear and clean area," ujar Sandrayati.
Baca juga: RUU Pertanahan Disahkan 24 September 2019
Menurut dia, istem yang dicanangkan dalam RUU itu tidak akan mendeteksi konflik yang selama ini ada.
Padahal, banyak lahan masyarakat adat yang tumpang tindih dengan hak guna usaha (HGU) perkebunan dan tambang.
Adapun pembahasan RUU Pertanahan memasuki tahap final. RUU yang menjadi inisiatif DPR dan telah dibahas sejak 2012 ini akan disahkan akhir September.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.