JAKARTA, KOMPAS.com — Pemerintah dan DPR belum satu suara terkait ketentuan pasal perzinaan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Anggota Tim Panja DPR dari Fraksi PKS Nasir Djamil mengungkapkan, fraksinya ingin RKUHP juga mengatur secara tegas mengenai sanksi pidana untuk pelaku perzinaan sesama jenis atau homoseksual.
"(Draf) RKUHP tidak lagi secara eksplisit menyebutkan hubungan seksual sesama jenis. Kami lihat revisi yang dibuat pemerintah, jadi khawatir redaksinya malah mengaburkan substansi yang ada," ujar Nasir saat dihubungi Kompas.com, Jumat (30/8/2019).
"Maka kami minta pending. Kami minta bicara lagi nanti sama pemerintah," lanjut dia.
Baca juga: PKS Ingin Ancaman Penjara dalam RKUHP Bagi Pelaku Zina Diperberat
Dalam Pasal 417 draf RKUHP per 28 Agustus 2019, setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda kategori II.
Kemudian dalam Pasal 419 tertulis, setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
Nasir mengatakan, Fraksi PKS ingin redaksional kedua pasal tersebut kembali ke draf awal RKUHP.
"Kalau draf awal itu secara eksplisit, spesifik disebutkan frasa sesama jenis. Kalau yang sekarang ini 'setiap orang'. Jadi ini kan khawatir mengaburkan substansinya," kata Nasir.
Baca juga: Kritik Terhadap Pasal Karet dalam RKUHP dan Potensi Ancaman Bagi Korban Perkosaan
Diketahui sebelumnya, draf awal RKUHP yang mengatur secara spesifik mengenai pemidanaan terhadap zina sesama jenis sempat menimbulkan polemik.
Pemerintah akhirnya menghapus frasa "sesama jenis" pada pasal perzinaan dan percabulan.
Sebab, ketentuan tersebut mendapat kritik dari sejumlah kalangan masyarakat sipil karena dinilai mendiskriminasi kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transjender (LGBT).
Baca juga: ICJR: Pasal Perzinaan dalam RKUHP Perlu Dihapus
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) sekaligus Ketua Tim Panja Pemerintah saat itu, Enny Nurbaningsih, mengatakan, penghapusan frasa tersebut bertujuan agar undang-undang hukum pidana tidak berkesan diskriminatif terhadap kelompok masyarakat tertentu.
"Kami kan juga ingin menjaga jangan sampai dalam perumusan itu ada kesan diskriminatif," ujar Enny saat ditemui seusai rapat Panja RKUHP antara pemerintah dan DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (30/5/2018).
"Kami menjaga rumusan itu ada untuk kepentingan yang lebih besar dan agar tidak dibawa ke MK juga. Karena kalau jatuhnya diskriminasi, pasti larinya (judicial review) ke MK," lanjut dia.