TANGSEL, KOMPAS.com - Kepala Badan Pemelihara Keamanan Polri Komjen (Pol) Condro Kirono mengungkapkan bahwa cuaca yang panas menjadi salah satu kendala dalam pemadaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Kalimantan dan Sumatera.
Kesulitan lainnya adalah sumber air yang berada jauh dari titik api.
"Kesulitannya adalah memang sekarang cuaca cukup panas, kemudian tempat pengambilan air juga kadang-kadang dari tempat hotspot atau kebakaran itu jauh," ujar Condro saat ditemui di Pangkalan Udara Direktorat Polisi Udara Baharkam Polri, Pondok Cabe, Tangerang Selatan, Banten, Jumat (16/8/2019).
Baca juga: Meningkat, Perkara Karhutla yang Ditangani Polisi Capai 100
Kendati demikian, Condro memastikan, kendala tersebut sejauh ini dapat diatasi dengan koordinasi antara tim pemadaman api di darat dan udara.
"Koordinasi antara satgas darat yang melakukan mapping adanya hotspot, kemudian mendatangi, calling kalau sekiranya hotspot besar, satgas udara memadamkan," kata dia.
Sementara itu, dalam rangka pencegahan karhutla, sosialiasi akan terus dilakukan kepada masyarakat.
Saat ini, koordinasi telah dilakukan antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, TNI, Polri, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Namun, nantinya, koordinasi akan diperluas dengan melibatkan Kementerian Pertanian dan Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Baca juga: Cegah Karhutla Meluas, KLHK Kirim Surat Peringatan ke 110 Perusahaan
Condro mengatakan, nanti Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) yang akan mengoordinasikan sejumlah kementerian tersebut.
Ia mencontohkan, Kementerian Pertanian akan bertugas memberi penyuluhan terkait tanaman yang sebaiknya ditanam di lokasi yang selama ini rawan terjadi karhutla.
Menurut dia, tanaman yang dimaksud harus ramah lingkungan dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi.
"Kementan adalah bagaimana penyuluh pertanian di daerah semua fokus tidak membuat lahan terbakar, apakah itu kopi liberica atau mungkin tanaman lain yang tidak menyerap air cukup banyak seperti sawit kalau di lahan gambut, dan nilai ekonomisnya tinggi," kata Condro.
"Kalau nilai ekonomis tinggi, masyarakat akan menjaga dan tidak akan membuat lahan," sambung dia.