JAKARTA, KOMPAS.com - Hingga pekan ini, ribuan warga Kabupaten Nduga, Papua, masih tinggal di pengungsian menyusul operasi yang digelar oleh aparat TNI/Polri pada awal Desember 2018 lalu.
Operasi tersebut digelar untuk mengejar sejumlah tersangka para pembunuh pekerja proyek Trans Papua.
Para tersangka diduga anggota kelompok yang menamakan diri Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM).
Data Kementerian Sosial mencatat setidaknya ada 2.000 pengungsi yang tersebar di beberapa titik di Wamena, Lanijaya, dan Asmat. Di antara pengungsi ini, tercatat 53 orang dilaporkan meninggal.
Namun, data tersebut dibantah Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (YKKMP) Theo Hesegem.
Theo mengatakan, warga pengungsi yang meninggal dunia mencapai 182 orang, 92 di antaranya anak-anak dan balita.
"Jumlah warga pengungsi yang meninggal 182 orang. itu semua sudah kami klarifikasi dan identifikasi. Setiap ada yang meninggal itu kami terima laporan dan itu kami tahu persis. Nama-nama itu kami sudah klarifikasi satu satu atas nama itu," ujar Theo saat dihubungi Kompas.com, Selasa (13/8/2019).
Data menyebut sedikitnya 5.000 warga Nduga kini mengungsi. Pengungsi di Wamena tersebar di sekitar 40 titik. Kebanyakan dari mereka tinggal menumpang di rumah kerabat.
Akibat banyaknya pengungsi yang berdatangan, di dalam satu rumah atau honai bisa berisi antara 30-50 orang
Menurut Theo, para pengungsi yang meninggal dunia rata-rata disebabkan lapar dan sakit.
Kondisi tempat pengungsian di hutan-hutan jauh dari kata layak untuk jadi tempat tinggal, apalagi untuk bayi dan anak-anak.
Di sisi lain, sebagian besar masyarakat enggan untuk menerima bantuan dari pemerintah. Sebab, operasi militer yang dilakukan oleh TNI/Polri mereka anggap seperti perang antarsuku.
Sementara, kata Theo, ada peraturan adat yang melarang warga menerima bantuan dari pihak luar, musuh atau pihak yang sedang bertikai.
"Sebenarnya mereka sangat membutuhkan bantuan sosial kemanusiaan," kata Theo.
Theo sendiri sepakat dengan usul penarikan pasukan TNI/Polri dari Nduga agar tidak terjadi kontak senjata dengan OPM.
Dengan begitu, masyarakat yang mengungsi dapat kembali ke desanya masing-masing dan menerima bantuan.
Theo menuturkan, masyarakat yang memilih bertahan di tempat pengungsian sebenarnya merasa takut. Mereka takut dengan pasukan TNI/Polri dan OPM.
Sebab, jika terjadi kontak senjata, masyarakat sipil ikut menjadi korban.
Theo menilai, jalan dialog antara pemerintah dan OPM sangat mungkin dilakukan untuk mengakhiri krisis di Nduga.
"Mereka merasa takut tindakan-tindakan aparat dan OPM, sebab kalau sudah kontak senjata itu kan masyarakat juga bisa kena," tutur Theo.