JAKARTA, KOMPAS.com - Polisi telah menetapkan 60 tersangka terkait kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di daerah Riau, Jambi, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat.
"Semuanya 60 (tersangka), dari 68 kasus, 60 proses sidik," ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo di Gedung Humas Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (12/8/2019).
Kemudian, kata Dedi, sebanyak 16 berkas perkara sudah dilimpahkan ke jaksa penuntut umum (JPU).
Rinciannya, 13 kasus di Polda Riau, 2 kasus di Polda Kalbar, dan 1 kasus di Polda Kalteng sudah dilimpahkan ke JPU. Sementara, sisanya masih dalam tahap penyidikan.
Baca juga: Perusahaan Sawit di Riau Jadi Tersangka Karhutla, Polisi Periksa 15 Saksi
Di sisi lain, polisi baru menetapkan satu perusahaan sebagai tersangka karhutla yaitu PT SSS.
PT SSS ditetapkan sebagai tersangka pada 8 Agustus 2019 terkait karhutla di Riau, Sumatera.
Perusahaan swasta tersebut diduga lalai dalam menjaga lahannya dari kebakaran. Akibatnya, lahan gambut di areal perusahaan tersebut terbakar.
Polisi pun telah memeriksa 15 orang yang terdiri dari jajaran direksi hingga karyawan PT SSS.
Dedi mengatakan, polisi mendalami letak kelalaian yang menyebabkan kebakaran tersebut. Misalnya, pada SOP atau kelalaian karyawan.
Baca juga: Kapolri dan Panglima TNI Tinjau Langsung Penanganan Karhutla di Riau
Nantinya, tak menutup kemungkinan ada tersangka baru terkait kebakaran tersebut.
"Kalau misalnya memang terbukti ya nanti tidak menutup kemungkinan dari mulai direksi sampai karyawan yang bertanggung jawab untuk mengontrol lahan tersebut bisa dijadikan tersangka," katanya.
Lebih lanjut, perusahaan juga dapat dikenakan sanksi lainnya apabila telah terbukti bersalah oleh pengadilan.
Baca juga: Gubernur Kalbar Panggil 100 Perusahaan Sawit Ingatkan soal Karhutla
Selain pidana, sanksi lain bagi perusahaan dapat berupa administrasi, misalnya pencabutan izin.
"Sanksi administrasi misalnya, luas areal yang menjadi tanggung jawab dia, yang izinnya ada di perusahaan tersebut bisa dicabut oleh gubernur. Kembalikan ke negara untuk mengontrol lahan yang seharusnya jadi kontrol mereka," ujar Dedi.