JAKARTA, KOMPAS.com - Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) meminta penghapusan pasal yang multitafsir dan berpotensi overkriminalisasi terkait rencana pemerintah merevisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Direktur Eksekutif ICJR Anggara Suwahju mengatakan, setidaknya ada dua pasal dalam UU ITE yang dianggap multitafsir, yakni Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (2).
Pasal 27 ayat (1) melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Frasa "melanggar kesusilaan" dinilai memiliki konteks dan batasan yang tidak jelas.
Baca juga: Berkaca Kasus Baiq Nuril, Pemerintah Akan Ajukan Revisi UU ITE
"Revisi UU ITE harus menghapus pasal yang multitafsir dan berpotensi overkriminalisasi. Sebagai contoh Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang memuat unsur melanggar kesusilaan. Unsur melanggar kesusilaan memiliki konteks dan batasan yang tidak jelas sehingga harus diperjelas," ujar Anggara kepada Kompas.com, Senin (5/8/2019).
Menurut Anggara, pasal tersebut harus disesuaikan dengan Pasal 282 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), bahwa sirkulasi konten melanggar kesusilaan hanya dapat dipidana apabila dilakukan di ruang dan ditujukan untuk publik.
Selain itu unsur 'mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik' dalam implementasinya, putusan pengadilan di tingkat Mahkamah Agung masih menginterpreasikan unsur tersebut secara luas dan multitafsir.
Kendati, telah dirumuskan harus dalam sistem elektronik yang berdampak pada terjadinya kriminalisasi.
"Proses revisi dapat dilakukan dengan mencabut pasal ini dari UU ITE, dan menyerahkannya pada rumusan KUHP yang ketat untuk juga dapat diterapkan pada ruang publik pada sistem elektronik," kata Anggara.
Terkait Pasal 28 ayat (2) UU ITE, Anggara mengatakan pasal ini tidak dirumuskan sesuai dengan tujuan awal perumusan tindak pidana tentang propaganda kebencian.
Baca juga: Revisi UU ITE, Pemerintah Tak Akan Hilangkan Ketentuan Sanksi Pidana
Pasal 28 ayat (2) memuat larangan bagi setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).
Pada praktiknya, kata Anggara, pasal tersebut justru menyasar kelompok dan individu yang mengkritik institusi dan penyampaian ekspresi yang sah.
"Lebih memprihatinkan pasal ini kerap digunakan untuk membungkam pengkritik Presiden, sesuatu yang oleh Mahkamah Konstitusi dianggap inkonstitusional saat menghapus pasal tentang penghinaan terhadap Presiden," ucap Anggara.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.