JAKARTA, KOMPAS.com - Kasus yang menjerat Baiq Nuril dinilai menjadi pelecut bagi Pemerintah dan DPR untuk segera merampungkan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS).
Direktur LBH APIK Siti Mazumah mengatakan, RUU PKS mesti segera disahkan supaya para korban pelecehan seksual seperti Baiq Nuril mempunyai payung hukum untuk melaporkan apa yang mereka alami.
"Karena banyak perempuan di luar sana yang menjadi korban kekerasan seksual yang tidak berani melapor karena tidak ada payung hukum," kata Mazumah dalam konferensi pers di kantornya, Jumat (26/7/2019).
Baca juga: Kasus Baiq Nuril, DPR dan Pemerintah Diminta Segera Rampungkan RUU PKS
Mazumah melanjutkan, saat ini juga masih banyak perempuan korban pelecehan seksual yang justru dikriminalisasi karena tidak ada payung hukum untuk melindungi perempuan.
Menurut Muzamah, hal itu disebabkan tidak diakomodirnya pelecehan seksual nonfisik dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana maupun undang-undang lainnya.
Muzamah mencontohkan, kasus pelecehan seksual terhadap Nuril belum mempunyai perkembangan berarti karena dinilai tidak ada bukti. Alasannya, Nuril mengalami pelecehan secara verbal berupa ucapan lewat telepon, bukan secara fisik.
"Ternyata dalam undang undang kita tidak mengakomodir adanya pelecehan seksual yang nonfisik padahal kan itu terjadi pada banyak perempuan di luar sana," ujar Mazumah.
Kasus Nuril bermula saat ia menerima telepon dari Kepsek berinisial M pada 2012. Dalam perbincangan itu, Kepsek M bercerita tentang hubungan badannya dengan seorang wanita yang juga dikenal Baiq. Karena merasa dilecehkan, Nuril pun merekam perbincangan tersebut.
Pada tahun 2015, rekaman itu beredar luas di masyarakat Mataram dan membuat Kepsek M geram. Kepsek lalu melaporkan Nuril ke polisi karena merekam dan menyebar rekaman tersebut. Kepsek M menyebut, aksi Nuril membuat malu keluarganya.
Nuril pun menjalani proses hukum hingga persidangan. Hakim Pengadilan Negeri Mataram, Nusa Tenggara Barat memvonis bebas Nuril. Namun, jaksa mengajukan banding hingga tingkat kasasi.
Baca juga: Dari Kasus Ikan Asin Galih Ginanjar, Komnas Perempuan Desak Pengesahan RUU PKS
Mahkamah Agung kemudian memberi vonis hukuman 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta karena dianggap melanggar Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 ayat 1 UU Nomor 11/2008 tentang ITE.
Nuril kemudian mengajukan PK. Dalam sidang PK, MA memutuskan menolak permohonan PK Nuril dan memutus Nuril harus dieksekusi sesuai dengan vonis sebelumnya.
Saat ini, Nuril tengah menunggu keputusan amnesti dari Presiden Joko Widodo. Sebelumnya, DPR telah menyetujui pertimbangan amnesti yang hendak diberikan.