JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Agung (MA) telah menolak peninjauan kembali (PK) Baiq Nuril dalam kasus perekaman ilegal. Meskipun, Nuril merupakan korban yang merekam upaya pelecehan seksual yang dialaminya.
Atas putusan tersebut, Baiq Nuril dijatuhi hukuman 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan.
Putusan MA menjadi perhatian publik karena dinilai tak mempertimbangkan posisi Baiq Nuril dalam kasus tersebut yang mendapat pelecehan seksual secara verbal dari Muslim atau mantan kepala sekolah SMAN 7 Mataraman, tempat Baiq bekerja.
Beberapa pihak menilai ada kejanggalan dalam putusan MA tersebut seperti malaadministrasi, namun MA tetap membenarkan mekanisme proses hukum yang dilakukan.
Seperti apa polemik yang tertuju kepada MA dan respons yang diberikan lembaga yudikatif itu? Berikut paparannya:
Ombudsman menilai, ada indikasi malaadministrasi yang dilakukan MA dalam memutus kasus Baiq Nuril.
MA diduga mengesampingkan Peraturan MA Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
Anggota Ombudsman Ninik Rahayu mengatakan, dalam peraturan MA tersebut ada dimensi kekerasan berbasis gender yang mestinya dipertimbangkan hakim dalam memutus kasus Baiq Nuril.
Ninik menilai, hakim MK tak mempertimbangkan pedoman tersebut sehingga Nuril yang sedianya berstatus korban malah dijadikan tersangka.
"Setidaknya ada penyalahgunaan wewenang, dan penyimpangan prosedur dalam penanganan kasus ini," ujar Ninik saat ditemui di Cikini, Jakarta, Minggu (7/7/2019).
Baca juga: MA Disebut Berpotensi Maladministrasi dalam Memutus Kasus Baiq Nuril
Senada dengan itu, Komnas Perempuan menyayangkan MA yang mengabaikan aturannya sendiri saat memutus perkara Nuril.
Menurut Komisioner Komnas Perempuan, Sri Nurherwati, seharusnya MA menggunakan peraturan tersebut terhadap perempuan dalam segala situasi, bukan hanya sebagai korban.
"Perma ini harus digunakan baik sebagai saksi, korban, dan ketika dia duduk sebagai terdakwa artinya perma ini seharusnya dilakukan untuk segala situasi bukan hanya sebagai korban," kata Sri saat ditemui di Gedung Komnas Perempuan, Jakarta, Senin (8/7/2019).
Baca juga: Kasus Baiq Nuril, Komnas Perempuan Sayangkan MA Tak Gunakan Aturan Sendiri
Andi mengatakan, dalam peraturan MA tersebut, perempuan yang sedang berhadapan dengan hukum adalah mereka yang berstatus sebagai korban, saksi, dan pihak terkait.