JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bidang Advokasi Muhamad Isnur menilai Pasal 315 Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bersifat multitafsir.
Berdasarkan draf RUU KUHP hasil rapat internal pemerintah 25 Juni 2019, pasal 315 menyatakan, setiap orang yang di muka umum menghasut dalam bentuk apa pun dengan maksud meniadakan keyakinan terhadap agama yang sah dianut di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Baca juga: KUHP Dinilai Tak Beri Definisi Jelas soal Makar
Isnur menilai kata hasutan bersifat multitafsir sehingga bisa menyasar pihak yang hanya melakukan ajakan untuk memeluk suatu agama.
"Pasal 315 memang tidak melarang orang untuk tidak beragama melainkan hasutannya. Masalahnya adalah kata hasutan multitafsir sehingga bisa menyasar orang yang hanya mengajak," ujar Isnur saat dihubungi, Selasa (2/7/2019).
Baca juga: Pasal 2 RUU KUHP Dinilai Berpotensi Jadi Celah Praktik Diskriminatif
Selain itu, Isnur juga menyoroti frasa 'meniadakan agama'. Ia menilai frasa tersebut dapat menimbulkan kerancuan, apakah dapat berarti seluruh agama atau hanya satu agama.
Selain itu, kata Isnur, tidak jelas pula maksud meniadakan agama, apakah meniadakan agama pada satu orang saja atau secara luas.
"Meniadakan juga multitafsir apakah maksudnya pada satu orang atau untuk meniadakannya sama sekali dari bumi Indonesia," kata Isnur.