JAKARTA, KOMPAS.com - Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional (PAN) dinilai sebaiknya tetap menjadi pihak oposisi dalam pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin periode 2019-2024.
Hal itu disampaikan pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno. Menurut Adi, jika tidak ada pihak oposisi yang seimbang, maka proses politik tidak menjadi dinamis dan berpotensi pemerintah menjadi otoriter.
"Kalau dilihat dari probabilitinya, PAN dan Demokrat bisa saja bergabung dengan koalisi pemerintah. Namun, dalam demokrasi dibutuhkan oposisi yang sehat, jadi lebih baik PAN dan Demokrat tetap menjadi oposisi atau berada di luar pemerintahan," ujar Adi kepada Kompas.com, Senin (1/7/2019).
Baca juga: Masih Berduka, Demokrat Tentukan Arah Politik Setelah 10 Juli
Dirinya mengkhawatirkan apabila koalisi pemerintah saat ini ditambah PAN dan Demokrat maka akan terjadi homogen politik yang dalam banyak hal mirip seperti orde baru.
Proses politik pun menjadi tak dinamis, tidak ada yang mengontrol pemerintah, dan kelompok penguasa berpotensi menjadi otoriter.
Suara di parlemen, tutur Adi, sudah menjadi milik koalisi pemerintah. Artinya, semua kebijakan dan kenginan pemerintah tidak akan mendapatkan perlawanan dan resistensi dari oposisi.
Baca juga: Nasdem Sambut Baik jika Demokrat Bergabung dengan Koalisi
"Kalau tidak ada keretakan dalam koalisi pemerintah ya sebaiknya tidak perlu merekrut PAN dan Demokrat. Ini untuk menciptakan kualitas demokrasi yang berimbang saja," paparnya kemudian.
Apalagi, seperti diungkapkan Adi, PAN dan Demokrat tidak bisa bergabung dengan koalisi jika partai-partai tidak membuka diri. Intensitas maupun lobi-lobi yang dilakukan PAN dan Demokrat tidak akan sukses jika parpol koalisi pemerintah menolak.
"Jadi tergantung bagaimana partai koalisi mau menerima apa tidak. Jadikanlah Pemilu 2019 menjadi reward dan punishment, partai yang menang jadi penguasa, yang kalah ya jadi oposisi," jelasnya.