JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Tim Hukum pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Denny Indrayana, mengungkapkan bahwa Polri dan Badan Intelijen Negara (BIN) tidak netral selama penyelenggaraan Pilpres 2019.
Hal itu menjadi salah satu bentuk kecurangan saat pilpres yang terjadi secara terstruktur, sistematis dan masif.
"Di antara praktik kecurangan yang paling mengganggu adalah ketidaknetralan aparatur negara dalam hal ini adalah Polri dan Intelijen negara, khususnya Badan Intelijen Negara," ujar Denny dalam sidang pendahuluan sengketa hasil pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Jumat (14/6/2019).
Baca juga: Tim Hukum Prabowo-Sandi Persoalkan Kenaikan Gaji PNS, TNI, dan Polri
Kendati demikian, Denny mengakui bukan hal yang mudah untuk membuktikan kecurangan yang dilakukan oleh Polri dan BIN.
Ia mengatakan, mayoritas pihak tertentu tidak bersedia berbagi bukti, ataupun menjadi saksi karena berbagai alasan, khususnya terkait keamanan.
"Oleh karena itu, pada kesempatan awal ini, pemohon hanya akan menguraikan beberapa bukti yang sudah pernah muncul dalam pemberitaan, dan karenanya sudah diketahui oleh khalayak luas. Untuk selanjutnya, Pemohon akan memberikan kelengkapan pembuktian pada tahap sidang selanjutnya," kata Denny.
Dalam permohonan sengketa, Tim Hukum pasangan Prabowo-Sandiaga menyertakan setidaknya 10 tautan berita media massa online, salah satunya soal instruksi Presiden Jokowi agar perwira Polri dan TNI untuk membantu sosialisasi program pemerintah kepada masyarakat luas.
Ada pula berita soal pengakuan Kapolsek Pasirwangi, Kabupaten Garut, Jawa Barat, AKP Sulman Azis yang diperintahkan untuk menggalang dukungan kepada Paslon 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin oleh Kapolres Kabupaten Garut. Perintah serupa juga diberikan kepada kapolsek lainnya di wilayah Kabupaten Garut.
Baca juga: Tim Hukum Prabowo-Sandiaga: Iklan Infrastruktur di Bioskop Kampanye Terselubung Jokowi
Namun tak berapa lama kemudian pengakuan AKP Sulman Azis itu kemudian diberitakan dicabut.
"Pencabutan itu tidak berarti serta-merta pengakuannya menjadi tidak benar. Pencabutan itu dapat juga merupakan indikasi bahwa pengakuannya adalah benar, lalu yang bersangkutan mendapatkan tekanan, sehingga terpaksa mencabut pengakuannya," ucap mantan Wakil Menkumham itu.