JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai ada tren putusan Mahkamah Agung (MA) yang tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi.
Hal itu terlihat dari beberapa putusan pengajuan peninjauan kembali (PK) yang diajukan para terpidana kasus korupsi.
"Upaya PK kerap dijadikan jalan pintas untuk terbebas dari jerat hukuman. Saat ini justru publik sering kali diperlihatkan pada putusan tingkat PK yang sering kali tidak berpihak dengan pemberantasan korupsi," ujar peneliti ICW Kurnia Ramadhana kepada Kompas.com, Senin (3/6/2019).
Baca juga: Menurut Jaksa KPK, Aturan MA Melarang OC Kaligis Ajukan PK Lebih dari Satu Kali
Sebagai contoh, Andi Zulkarnain Mallarangeng atau Choel Mallarangeng, pada tingkat pengadilan sebelumnya divonis 3,5 tahun penjara dan denda Rp 250 juta. Namun, MA memperingan hukumannya hanya menjadi 3 tahun penjara.
Kemudian, MA juga mengabulkan PK mantan Direktur Pengolahan PT Pertamina, Suroso Atmomartoyo. Sebelumnya, Suroso dihukum 7 tahun penjara, denda Rp 200 juta, dan kewajiban membayar uang pengganti 190 ribu dollar Amerika Serikat.
Namun, putusan PK malah menghilangkan kewajiban pembayaran uang pengganti tersebut.
Baca juga: Hakim Kembali Jadi Tersangka Korupsi, MA Bantah Gagal Jalankan Pengawasan
Menurut ICW, hukum positif Indonesia mengatur serta membatasi syarat bagi terpidana yang ingin mengajukan PK. Pasal 263 ayat 2 KUHAP menyebutkan bahwa syarat jika seseorang ingin mengajukan PK apabila terdapat novum atau bukti baru.
Kemudian, apabila putusan sebelumnya terdapat kekeliruan dan kekhilafan dari hakim saat menjatuhkan putusan.
"Dalam beberapa kesempatan, syarat itu kerap diabaikan, sehingga putusan yang dihasilkan dinilai jauh dari rasa keadilan bagi masyarakat," kata Kurnia.
Baca juga: Sepanjang 2018, ICW Catat 26 Narapidana Kasus Korupsi Ajukan PK
Dalam mengabulkan PK Choel Mallarangeng, MA menyebutkan bahwa alasan utama karena yang bersangkutan telah mengembalikan uang yang telah diterimanya.
Hal ini dinilai bertentangan dengan Pasal 4 Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana.
"Seberapapun besarnya uang hasil korupsi yang telah dikembalikan kepada negara, tentu hal itu tidak dapat dijadikan dasar penghapus hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi," kata Kurnia.