JAKARTA, KOMPAS.com - Wacana "power sharing" atau berbagi kekuasaan di antara kontestan Pemilihan Presiden 2019 muncul.
Pihak yang menang dinilai patut memberikan posisi strategis di pemerintahan kepada pihak yang kalah.
Hal yang dianggap sebagai tradisi perpolitikan Tanah Air itu perlu dilakukan agar terwujud rekonsiliasi untuk mengakhiri panasnya "peperangan politik".
Analis politik dan Direktur IndoStrategi Arif Nurul Imam mengatakan, power sharing bisa menjadi salah satu opsi di tengah polarisasi politik yang tajam di antara Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno saat ini.
Baca juga: Mahfud MD: Semua Pihak Harus Punya Kesadaran Rekonsiliasi
"Power sharing memang menjadi salah satu jalan agar polarisasi itu tidak semakin meruncing ke depannya. Meski agak rumit, tapi kemungkinan itu pasti masih ada. Sebab, semua politisi pasti berhasrat mendapatkan kekuasaan," ujar Arif kepada Kompas.com, Senin (20/5/2019).
Mengacu pada penghitungan suara sementara Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diyakini tidak akan banyak berubah hingga penetapan pada tanggal 22 Mei 2019, pasangan Jokowi-Ma'ruf akan memenangkan Pemilihan Presiden 2019.
Jika memang "power sharing" ini dijajaki kubu Jokowi, menurut Arief, akan ada yang mengganjal dari kubu Prabowo dalam proses negosiasi.
Menurut dia, bisa jadi ada sekelompok orang di belakang Prabowo yang akan mendorong agar Prabowo tidak menerima negosiasi tersebut.
"Kerumitan pertama, karena ada beban psikologis yang datang dari 'setan gundul', kalau boleh meminjam diksi Andi Arief ya. Mereka akan mendorong Prabowo supaya tidak mau menerimanya," ujar Arif.
Baca juga: Demi Rekonsiliasi, Ketua DPR Sarankan Presiden Terpilih Ajak Partai Non-koalisi Masuk Kabinet
"Kedua, yakni Prabowo sendiri yang bersikeras tidak mau masuk. Salah satu sebab yakni karena Beliau tidak ingin dituding pendukungnya tidak konsisten. Masa' sudah sedemikian rupa berpolitik selama ini, ujung-ujungnya negosiasi pada jabatan?" lanjut dia.
Meski demikian, Arif menegaskan, spektrum politik sangat luas. Celah untuk dua kubu rekonsiliasi sangat luas. Jika tidak dengan sharing politik, pasti tetap ada jalan untuk menuju ke sana.
Oleh sebab itu, salah satu pihak yang semestinya mengambil peran ini adalah masyarakat sipil.
"Celah rekonsiliasi tetap terbuka meski semakin menyempit. Ini yang seharusnya dimainkan dan didorong masyarakat sipil. Kelompok ini bisa memainkan peran rekonsiliasi di tengah ketegangan politik," ujar Arif.
"Selain itu, para elite politik juga harus sadar, sifat kerasnya untuk tidak mau melakukan rekonsiliasi justru akan jadi bumerang bagi dia di kemudian hari. Nanti mereka akan dihukum pemilih. Perang atau konflik tanpa ujung itu hanya akan membuat masyarakat antipati terhadap mereka," lanjut dia.
Diketahui, wacana power sharing dikemukakan tokoh Suluh Kebangsaan Romo Benny Susetyo seusai acara silaturahim dengan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (17/5/2019).