JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyebut, tantangan terbesar Mahkamah Konstitusi (MK) jika menangani sengketa hasil pemilu adalah polarisasi politik.
Menurutnya, polarisasi politik yang begitu dalam di masyarakat pada Pemilu 2019 dan narasi-narasi ketidakpercayaan akan mekanisme hukum menyulitkan MK sebagai lembaga yang memutuskan sengketa hasil pemilu.
"Tantangan terbesar bagi MK saat ini adalah menghadapi situasi politik polarisasi masyarakat yang begitu besar dan ditambah narasi ketidakpercayaan pada mekanisme hukum," ujar Titi dalam diskusi publik bertajuk "Tantangan Mahkamah Konstitusi dalam Menyelesaikan Sengketa Hasil Pemilu Serentak Tahun 2019" di Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (17/5/2019).
Baca juga: Waktu Penetapan Calon Terpilih Tergantung Sengketa di MK
Demokrasi di Indonesia, lanjutnya, adalah demokrasi konstitusional yang diterapkan dalam instrumen kepemiluan. Maka dari itu, MK memiliki peran yang fundamental dalam proses kepemiluan.
Titi menuturkan, setiap pasangan calon presiden dan wakil presiden yang menjadi kontestan dalam pemilu harus mematuhi koridor hukum yang ada di UU Pemilu. Seperti mengajukan perkara hasil pemilu ke MK jika ada dugaan kecurangan yang ingin diperkarakan.
Baca juga: Mahfud MD: Yang Tidak Percaya MK Itu Provokator, Jumlahnya Sedikit
"Tantangan bagi MK yaitu membuktikan kinerjanya di tengah narasi ketidakpercayaan pada mekanisme hukum," ungkapnya kemudian.
Dalam Pemilu 2019, seperti diungkapkan Titi, ada pihak yang mencoba membangun narasi ketidakpercayaan pada proses pemilu.
"Contoh, belum ada apa-apa (pengumuman hasil pemilu) tiba-tiba ada pernyataan tidak pergi ke MK karena sudah tidak percaya. Padahal, demokrasi konstitusional adalah mengikuti konstitusi dan supremasi hukum," pungkasnya.