KOMPAS.com — Santet identik dengan hal-hal mistis, bahkan cenderung irasional. Kebanyakan orang menilai santet digunakan untuk membuat orang menderita hingga mati.
Namun, sebagian masyarakat Indonesia, salah satunya di Banyuwangi, santet tak dipahami sesempit itu.
Menurut dosen Sejarah IAIN Surakarta, Latif Kusairi, di Banguwangi, Jawa Timur, masyarakat mengenal santet sebagai tradisi yang umum. Misalnya, kepercayaan terhadap benda pelaris pun dikenal sebagai santet dan hal sejenisnya.
"Semua yang ada di Banyuwangi dianggap sebagai santet. Maksudnya santet ini sudah menjadi bagian dari masyarakat Banyuwangi," kata Latif dalam diskusi di Rumah Budaya Kratonan Surakarta, bekerja sama dengan IAIN Surakarta pada Kamis (16/5/2019) sore.
"Orang sakit meminta kesembuhan ke kiai dengan minum air yang sudah didoakan. Itu merupakan santet putih namanya," ucap Latif.
Baca juga: Kejagung Belum Respons soal Substansi Kasus Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999
Namun, ada yang memanfaatkan perbedaan pemahaman budaya mengenai santet itu untuk membuat kerusuhan di Banyuwangi. Pemahaman bahwa santet identik dengan perbuatan jahat memunculkan isu bahwa dukun santet harus disingkirkan.
Pada Februari 1998, masyarakat Banyuwangi geger dengan masalah ini. Orang yang dipercaya mempunyai ilmu santet jadi sasaran oleh kelompok tidak dikenal.
Sejumlah orang yang dituding dukun santet langsung disasar sekelompok orang ini. Tiap rumah yang disinyalir sebagai tempat tinggal dukun santet kemudian diberi label tertentu.
Setelah peristiwa itu, Bupati Banyuwangi Purnomo Sidik membuat rencana lain. Dia menulis dan mendata orang-orang yang masih memiliki kekuatan magis atau dukun. Setiap orang di pasar, sesepuh desa, hingga di lingkungan mana pun tak luput dari pendataan ini.
Dikutip dari harian Kompas yang terbit 14 Oktober 1998, ia menginstruksikan semua camatnya untuk mengirim data tentang orang yang dianggap dukun santet di wilayahnya dengan tujuan menyelamatkan mereka.
Radiogram ini akhirnya bocor ke sekelompok orang. Awalnya bertujuan untuk menyelamatkan orang yang diduga mempunyai santet malah menjadikan petaka tahap kedua bagi mereka.
"Bocornya informasi ini menjadikan sebagai acuan bagi sekelompok orang yang berduyun-duyun datang ke suatu tempat untuk membunuh orang yang diduga dukun santet," kata Latif Kusairi.
Bocornya informasi ini menjadi awal munculnya sekelompok orang tak dikenal ke desa-desa di Banyuwangi untuk membunuh. Banyak orang yang menyebut kelompok itu sebagai "Gerakan Antitenung" atau Gantung.
Baca juga: Komnas HAM Duga Pelaku Pembunuhan Dukun Santet Tahun 1998-1999 Orang Terlatih
Tak seperti pada Geger Santet tahap pertama, pada tahap ini terjadi pembantaian yang lebih masif. Pembunuhan dilakukan oleh banyak orang, bahkan datang dengan naik truk.