Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenang Geger Santet, Tragedi Pembantaian di Banyuwangi pada 1998

Kompas.com - 17/05/2019, 14:32 WIB
Aswab Nanda Prattama,
Bayu Galih

Tim Redaksi

KOMPAS.com — Santet identik dengan hal-hal mistis, bahkan cenderung irasional. Kebanyakan orang menilai santet digunakan untuk membuat orang menderita hingga mati.

Namun, sebagian masyarakat Indonesia, salah satunya di Banyuwangi, santet tak dipahami sesempit itu.

Menurut dosen Sejarah IAIN Surakarta, Latif Kusairi, di Banguwangi, Jawa Timur, masyarakat mengenal santet sebagai tradisi yang umum. Misalnya, kepercayaan terhadap benda pelaris pun dikenal sebagai santet dan hal sejenisnya.

"Semua yang ada di Banyuwangi dianggap sebagai santet. Maksudnya santet ini sudah menjadi bagian dari masyarakat Banyuwangi," kata Latif dalam diskusi di Rumah Budaya Kratonan Surakarta, bekerja sama dengan IAIN Surakarta pada Kamis (16/5/2019) sore.

"Orang sakit meminta kesembuhan ke kiai dengan minum air yang sudah didoakan. Itu merupakan santet putih namanya," ucap Latif.

Baca juga: Kejagung Belum Respons soal Substansi Kasus Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999

Namun, ada yang memanfaatkan perbedaan pemahaman budaya mengenai santet itu untuk membuat kerusuhan di Banyuwangi. Pemahaman bahwa santet identik dengan perbuatan jahat memunculkan isu bahwa dukun santet harus disingkirkan.

Pada Februari 1998, masyarakat Banyuwangi geger dengan masalah ini. Orang yang dipercaya mempunyai ilmu santet jadi sasaran oleh kelompok tidak dikenal.

Sejumlah orang yang dituding dukun santet langsung disasar sekelompok orang ini. Tiap rumah yang disinyalir sebagai tempat tinggal dukun santet kemudian diberi label tertentu.

Awal Geger Santet

Latif Kusairi memaparkan materi dalam diskusi di Rumah Budaya KratonanKOMPAS.com/Aswab Nanda Prattama Latif Kusairi memaparkan materi dalam diskusi di Rumah Budaya Kratonan
Geger Santet bermula pada Februari 1998. Namun, saat itu Pemerintah Orde Baru yang memiliki kontrol penuh terhadap keamanan mengendalikan situasi secara cepat. Masyarakat dipaksa untuk menjaga situasi tetap tenang.

Setelah peristiwa itu, Bupati Banyuwangi Purnomo Sidik membuat rencana lain. Dia menulis dan mendata orang-orang yang masih memiliki kekuatan magis atau dukun. Setiap orang di pasar, sesepuh desa, hingga di lingkungan mana pun tak luput dari pendataan ini.

Dikutip dari harian Kompas yang terbit 14 Oktober 1998, ia menginstruksikan semua camatnya untuk mengirim data tentang orang yang dianggap dukun santet di wilayahnya dengan tujuan menyelamatkan mereka.

Radiogram ini akhirnya bocor ke sekelompok orang. Awalnya bertujuan untuk menyelamatkan orang yang diduga mempunyai santet malah menjadikan petaka tahap kedua bagi mereka.

"Bocornya informasi ini menjadikan sebagai acuan bagi sekelompok orang yang berduyun-duyun datang ke suatu tempat untuk membunuh orang yang diduga dukun santet," kata Latif Kusairi.

Bocornya informasi ini menjadi awal munculnya sekelompok orang tak dikenal ke desa-desa di Banyuwangi untuk membunuh. Banyak orang yang menyebut kelompok itu sebagai "Gerakan Antitenung" atau Gantung.

Baca juga: Komnas HAM Duga Pelaku Pembunuhan Dukun Santet Tahun 1998-1999 Orang Terlatih

Tak seperti pada Geger Santet tahap pertama, pada tahap ini terjadi pembantaian yang lebih masif. Pembunuhan dilakukan oleh banyak orang, bahkan datang dengan naik truk.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Prabowo: Kita Timnya Jokowi, Kita Harus Perangi Korupsi

Prabowo: Kita Timnya Jokowi, Kita Harus Perangi Korupsi

Nasional
Freeport Indonesia Berbagi Bersama 1.000 Anak Yatim dan Dhuafa

Freeport Indonesia Berbagi Bersama 1.000 Anak Yatim dan Dhuafa

Nasional
Komisi V DPR Apresiasi Kesiapan Infrastruktur Jalan Nasional Capai 98 Persen Jelang Arus Mudik-Balik

Komisi V DPR Apresiasi Kesiapan Infrastruktur Jalan Nasional Capai 98 Persen Jelang Arus Mudik-Balik

Nasional
Pakar: Jadi Subyek yang Dituduh, Mestinya Presiden Dihadirkan pada Sidang Sengketa Pilpres

Pakar: Jadi Subyek yang Dituduh, Mestinya Presiden Dihadirkan pada Sidang Sengketa Pilpres

Nasional
Dukung Prabowo dan Megawati Bertemu, Airlangga Singgung Periode Kritis RI 10 Tahun ke Depan

Dukung Prabowo dan Megawati Bertemu, Airlangga Singgung Periode Kritis RI 10 Tahun ke Depan

Nasional
Prabowo: Saya dan Gibran Manusia Biasa, Kami Butuh Bantuan dan Nasihat

Prabowo: Saya dan Gibran Manusia Biasa, Kami Butuh Bantuan dan Nasihat

Nasional
Diminta Kubu Anies Jadi Saksi Sengketa Pilpres 2024, Airlangga Tunggu Undangan MK

Diminta Kubu Anies Jadi Saksi Sengketa Pilpres 2024, Airlangga Tunggu Undangan MK

Nasional
Pakar Sebut Kesaksian 4 Menteri di Sidang Sengketa Pilpres Penting, Bisa Ungkap Politisasi Bansos

Pakar Sebut Kesaksian 4 Menteri di Sidang Sengketa Pilpres Penting, Bisa Ungkap Politisasi Bansos

Nasional
Prabowo Bilang Demokrasi Tidak Mudah, tetapi Paling Dikehendaki Rakyat

Prabowo Bilang Demokrasi Tidak Mudah, tetapi Paling Dikehendaki Rakyat

Nasional
Menko Polhukam Sebut Pengamanan Rangkaian Paskah Dilakukan Terbuka dan Tertutup

Menko Polhukam Sebut Pengamanan Rangkaian Paskah Dilakukan Terbuka dan Tertutup

Nasional
Prabowo-Gibran Buka Puasa Bareng Golkar, Semeja dengan Airlangga, Agung Laksono, dan Akbar Tandjung

Prabowo-Gibran Buka Puasa Bareng Golkar, Semeja dengan Airlangga, Agung Laksono, dan Akbar Tandjung

Nasional
Fahira Idris: Pendekatan Holistik dan Berkelanjutan Diperlukan dalam Pengelolaan Kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur

Fahira Idris: Pendekatan Holistik dan Berkelanjutan Diperlukan dalam Pengelolaan Kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur

Nasional
KPK: Baru 29 Persen Anggota Legislatif yang Sudah Serahkan LHKPN

KPK: Baru 29 Persen Anggota Legislatif yang Sudah Serahkan LHKPN

Nasional
Dewas Sudah Teruskan Aduan Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar ke Deputi Pimpinan

Dewas Sudah Teruskan Aduan Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar ke Deputi Pimpinan

Nasional
Rekening Jaksa KPK yang Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar Diperiksa

Rekening Jaksa KPK yang Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar Diperiksa

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com