JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Biro Penerangan Masyarakat Humas Brigjen (Pol) Dedi Prasetyo menanggapi dorongan sejumlah pihak agar jenazah anggota penyelenggara pemilu diautopsi.
Dedi menuturkan bahwa langkah itu bisa dilakukan Polri jika terdapat fakta hukum.
"Jadi semua harus berdasarkan fakta hukum dulu, yang komprehensif dan dikaji, baru Polri dalam hal ini sebagai landasannya bisa bertindak," kata Dedi di Gedung Humas Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat (10/5/2019).
Ia menuturkan bahwa autopsi adalah sebuah tindakan untuk memperjelas indikasi dari fakta hukum yang ada, misalnya penganiayaan atau pembunuhan.
Menurutnya, fakta hukum tersebut yang perlu dikaji secara komprehensif.
Jika tidak memiliki fakta hukum dan keluarga juga tidak merasa ada kejanggalan, langkah tersebut tak dapat dilakukan.
Baca juga: KPU Minta Gugurnya Petugas KPPS Tak Dipermasalahkan Kembali
"Ingat rekan-rekan bahwa Polri bekerja selalu harus berdasarkan suatu fakta hukum, kalau enggak ada fakta hukumnya, dari pihak keluarga juga tidak merasa adanya satu hal-hal yang mencurigakan, kejanggalan, apa yang mau diautopsi," ungkapnya.
Salah satu tuntutan autopsi diajukan oleh perkumpulan petugas kesehatan bernama Komunitas Kesehatan Peduli Bangsa.
Dilansir dari KompasTV, salah satu poin yang didesak komunitas tersebut yaitu agar polisi mengeluarkan surat autopsi kepada petugas yang meninggal saat penyelenggaraan Pemilu 2019.
Menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada hari ini, Jumat (10/5/2019), jumlah penyelenggara pemilu ad hoc yang meninggal dunia bertambah menjadi 469 orang. Selain itu, sebanyak 4.602 lainnya dilaporkan sakit.
Penyelenggara yang dimaksud meliputi Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.