JAKARTA, KOMPAS.com - Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) yang sengaja tidak memecat Aparatur Sipil Negara (ASN) yang divonis korupsi dan telah mengantongi keputusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, dinilai perlu diberi sanksi yang lebih berat.
"Kalau itu memang ada pembangkangan, itu harus diperberat," kata Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Dadang Trisasongko saat ditemui di Hotel Ashley, Jakarta Pusat, Selasa (30/4/2019).
Saat ini, PPK yang tidak memecat PNS koruptor dikenai sanksi administratif berupa pemberhentian sementara dan tidak mendapatkan hak-haknya.
Baca juga: Pejabat yang Tak Pecat ASN Koruptor Akan Disanksi
Hal itu tertuang pada surat petunjuk Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) dengan nomor B/50/M.SM.00.00/2019 tertanggal 28 Februari 2019.
Selain karena keengganan atau pengabaian terhadap putusan pengadilan, Dadang menyebutkan dua penyebab lain masih banyaknya ASN koruptor yang belum dipecat.
Penyebab pertama adalah tidak adanya sinkronisasi data antarlembaga.
Kemudian, penyebab kedua yaitu koordinasi yang lemah antarlembaga terkait, seperti Kementerian Dalam Negeri dan Badan Kepegawaian Negara (BKN).
Dalam pandangan Dadang, penyebab tersebut harus diperbaiki dan bukan memperberat sanksi.
"Tapi kalau problemnya lebih manajerial, koordinasi, data, itu harus diperbaiki," tutur dia.
Sebelumnya Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri Bahtiar mengungkapkan, sebanyak 1.372 ASN sudah dipecat dengan tidak hormat. Data tersebut per 26 April 2019.
Baca juga: Ribuan PNS Koruptor Belum Dipecat, Ini Tiga Penyebabnya Menurut TII
"Sebanyak 1.372 PNS dikenai Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH), terdiri dari PNS Provinsi sebanyak 241 dan PNS Kabupaten/Kota sebanyak 1.131," ungkap dia melalui rilis, Sabtu (27/4/2019).
Sementara, masih terdapat 1.124 ASN yang tersandung kasus korupsi tetapi belum dilakukan PTDH.
Jumlah tersebut terdiri dari 143 ASN di tingkat provinsi, dan 981 ASN lainnya di tingkat kabupaten/kota.