DEPOK, KOMPAS.com - Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran Susi Dwi Harijanti mengatakan, DPR sebagai pembentuk undang-undang seharusnya bisa mencegah agar penyelenggara pemilu di tempat pemungutan suara tidak sampai kelelahan hingga meninggal dunia.
Menurut Susi, ketika Mahkamah Konstitusi tidak memberikan penjelasan mengenai kata serentak, legislator bertanggung jawab untuk mengatur makna kata tersebut. Terutama, DPR dapat memastikan asas "dapat dilaksanakan" dalam pemilu serentak.
"Kalau serentak, apakah (pemungutan suara) pada satu hari yang sama, atau apakah pada jam yang sama? Yang paling penting, apakah asas dapat dilaksanakan itu terpenuhi," ujar Susi saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional Evaluasi Pemilu Serentak 2019 di Gedung FHUI, Depok, Selasa (30/4/2019).
Baca juga: Hingga Senin, Panwaslu Meninggal Dunia Bertambah Jadi 72 Orang
Menurut Susi, penafsiran kata serentak tersebut akan sangat bergantung pada naskah akademik. Pada masa kajian tersebut, legislator dapat memperkirakan waktu kerja penyelenggara pemilu yang lebih memungkinkan.
Setidaknya, beban kerja penyelenggara pemilu yang terlibat dalam pemungutan suara dan penghitungan surat suara dapat diminimalisir.
Jumlah anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara ( KPPS) yang meninggal dunia bertambah menjadi 318 orang. Selain itu, sebanyak anggota KPPS dilaporkan sakit.
Baca juga: Pulang Paksa dari RS demi Pemilu, Ketua KPPS Gugur usai Pencoblosan
Angka ini mengacu pada data Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Selasa pagi.
"Jumlah anggota KPPS wafat 318, sakit 2.232. Total 2.550 tertimpa musibah," kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) KPU RI Arif Rahman Hakim saat dikonfirmasi, Selasa.
Baik anggota KPPS yang meninggal maupun sakit sebagian besar disebabkan karena kelelahan dan kecelakaan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.