JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar hukum tata negara Refly Harun menilai, rencana pemindahan Ibu Kota oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo berdampak pada hukum ketatanegaraan.
Ia menyebutkan, dalam konstitusi, setidaknya ada dua pasal yang menyinggung Ibukota negara.
Pasal 2 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di Ibu Kota negara.
Baca juga: Ibu Kota Pindah, Jakarta Tetap Jadi Pusat Bisnis
Lalu, ada Pasal 23G ayat (1) yang menegaskan BPK berkedudukan di Ibu Kota negara, dan memiliki perwakilan di setiap provinsi.
Ketentuan senada ditemukan dalam beberapa undang-undang, yang mengharuskan lembaga tertentu berkedudukan di Ibukota negara.
"Implikasi hukumnya ya pasti harus mengubah UU dan konsekuensi lainnya yang telah diatur dalam konstitusi. Contoh, MPR yang harus sidang di Ibu Kota, kalau pindah, ya artinya para anggota MPR harus sidang di kota itu, bukan lagi di Jakarta," ujar Refly kepada Kompas.com, Selasa (30/4/2019).
Baca juga: Tujuh Hal yang Harus Diketahui soal Pemindahan Ibu Kota
Dia menjelaskan, jika tidak ada perubahan UU, maka pelantikan presiden dan wakil presiden akan dilakukan di Ibu Kota yang baru. Namun, sebenarnya, pemerintah bisa mengubah UU tersebut agar MPR tetap bisa bersidang di Jakarta.
"Tinggal amandemen aja konstitusinya, ubah UU di pasal yang terkait tersebut. Bisa saja ditambahkan dalam pasal tersebut bahwa sidang bisa dilakukan di Ibu Kota yang baru atau di bekas Ibu Kota," ungkapnya kemudian.
Untuk itu, seperti diungkapkan Refly, pemerintah perlu berkoordinasi dengan DPR terlebih dahulu untuk mengubah UU, cukup mengenai pasal terkait MPR tersebut.
Baca juga: Rencana Pemindahan Ibu Kota, Bagaimana Nasib Jakarta?
"Mengubah konstitusi itu sebenarnya gampang kalau ada kesepakatan. Di Ibu Kota yang baru kan belum tentu infrastrukturnya siap, ya sudah di pasal itu tinggal ditambahkan MPR bisa sidang di bekas Ibu Kota," ucapnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo memutuskan untuk memindahkan Ibu Kota ke luar pulau Jawa. Hal itu diputuskan Jokowi dalam rapat terbatas terkait pemindahan Ibu Kota di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (29/4/2019).
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro mengatakan, awalnya dalam rapat itu ada tiga alternatif yang ditawarkan ke Jokowi.
Baca juga: Maja di Lebak Masuk Calon Ibu Kota Negara, Ini Penjelasan Wagub Banten
Pertama, Ibu Kota tetap di Jakarta tetapi daerah seputaran Istana dan Monas dibuat khusus untuk kantor-kantor pemerintahan, kementerian, dan lembaga.
Sehingga seluruh kawasan pemerintahan berada di satu tempat dan itu menciptakan efisiensi di dalam tugas koordinasi pemerintah.
Baca juga: Soal Pemindahan Ibu Kota dari Jakarta, Ini Tanggapan BPN
Alternatif kedua, pusat pemerintahan pindah ke luar Jakarta, tetapi masih dalam radius sekitar 50-70 km dari Jakarta.
Alternatif ketiga adalah memindahkan Ibu Kota ke luar pulau Jawa, khususnya mengarah kepada kawasan timur Indonesia.
"Dalam rapat tadi diputuskan, Presiden memilih alternatif ketiga, yaitu memindahkan Ibu Kota ke luar Jawa. Ini barangkali salah satu putusan penting yang dilahirkan hari ini," kata Bambang.