JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Muhammad Afifuddin, menyatakan, salah satu kendala tenaga kerja Indonesia (TKI) yang ada di luar negeri tidak bisa mencoblos saat Pemilu 2019 adalah tak ada izin dari perusahaan atau majikan tempat mereka bekerja.
"Buruh migran atau TKI juga banyak ditahan passport-nya oleh majikan. Tidak semua majikan itu kooperatif untuk memperbolehkan karyawannya memilih," ujar Afifuddin dalam diskusi bertajuk "Tantangan Pemilu 2019 bagi Pekerja Migran dan Masyarakat Adat" di kantor Bawaslu, Jakarta Pusat, Senin (29/4/2019).
Afifuddin menyebutkan, permasalahan yang dialami TKI tersebut banyak terjadi di negara Timur Tengah dan Asia. Hal itu menjadi catatan sendiri bagi Bawaslu untuk evaluasi pemilu ke depan.
Baca juga: Di Hong Kong, TKI yang Paspornya Ditahan Majikan Tak Bisa Nyoblos
Pendataan pemilih TKI, lanjutnya, juga sulit bagi penyelenggara pemilu. Pasalnya, mendata daftar pemilih tetap (DPT) TKI tidak mudah membuatnya dibandingkan di dalam negeri.
"Pencatatan pemilih di luar negeri juga jadi tantangan tersendiri bagi Bawaslu. Bawaslu sendiri ada di 34 negara yang jumlah pemilihnya lebih dari 5.000. Kalau ada warga negara jumlah pemilihnya lebih dari 5.000, maka kita membuat pengawas luar negeri," ungkapnya kemudian.
Sementara itu, peneliti dari Network for Democracy and Electoral Integrity (NETGRIT) Hadar Nafis Gumay menambahkan, antusiasme pemilih di luar negeri, khususnya TKI relatif tinggi. Namun demikian, antusiasme tersebut tidak bisa terwadahi dengan baik karena kesiapan petugas.
Baca juga: Kisah TKI di Singapura Gagal Nyoblos karena Tak Dapat Izin Majikan
"Antusiasme yang tinggi itu berakhir dengan kekecewaan karena penyelenggara tidak cukup siap menghadapi situasi ini," paparnya.
Diakui Hadar, mendata pemilih TKI memang tidaklah mudah. Ia juga senada dengan Afifufuddin bahwa TKI sulit menggunakan hak pilihnya lantaran paspornya ditahan majikan.
"Itu juga persoalan, ditambah lagi kita punya para pekerja migran yang statusnya ilegal," ucap Hadar.