JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya menceritakan proses kerja lembaganya dalam melakukan hitung cepat (quick count).
Menurut dia, proses hitung cepat lebih sederhana dibandingkan proses survei.
"Kenapa (lebih sederhana)? Karena sebetulnya ketika bicara data yang masuk itu hanya rekap C1 plano yang dilampirkan dan kemudian dimasukkan dalam sebuah sistem lewat aplikasi, ditabulasi, kemudian menjadi sebuah angka di level nasional," kata Yunarto kepada Kompas.com, Senin (29/4/2019).
Dalam hitung cepat Pemilu 2019, Charta Politika mengambil sampel 2.000 tempat pemungutan suara (TPS) secara acak dari total populasi TPS di seluruh Indonesia secara proporsional.
Penarikan sampel menggunakan stratified cluster random sampling.
"Skema kerjanya sederhana. Pertama, randomisasi terhadap TPS dengan jumlah TPS yang ditentukan di awal, misalkan kalau dengan 2000 mewakili 813.000-an (TPS), dengan angka itu saja bisa mendapatkan tingkat kepercayaan 99 persen dan margin of error 1 persen," kata dia.
Margin of error pada dasarnya merupakan rentang kesalahan yang mungkin terjadi. Artinya, nilai yang didapat bisa bertambah atau berkurang 1 persen.
"Kalau C1 plano kan sifatnya absolut, sehingga kemudian selama sampling dilakukan dengan cara benar, harusnya peluang terjadi kesalahan sangat kecil masih dalam konteks margin of error," ujar dia.
"Kalau survei kemungkinan error-nya masih lebih banyak ketika kita mencoba membaca persepsi orang. Ketika surveinya dilakukan berbeda hari pun atau waktu pun, kan sudah berbeda hasilnya," kata Yunarto.
Menurut Yunarto, meski sampel yang diambil 2.000 TPS, pihaknya sudah bisa mendapatkan gambaran representasi yang cukup di tingkat nasional.
Sebab, pemilih di setiap TPS tentunya memiliki karakter yang beragam.
"Satu TPS itu mewakili banyak pemilih. Katakanlah di satu TPS itu sudah mewakili 200 pemilih misalnya, 200 itu asumsinya hanya 70 persen pemilih yang memilih. Kalau kita menggunakan data KPU terakhir kan 80 persen. Berarti ada sekitar 240 pemilih di tiap TPS. 240 kita kali 2.000 artinya itu merepresentasikan 480.000 pemilih. Jadi itu sudah cukup untuk mendapatkan (gambaran) di level nasional ya," kata dia.
Charta Politika menyebarkan 2.000 relawan di 2.000 TPS tersebut. Setiap relawan memonitor pemungutan suara sejak dibukanya TPS sampai penghitungan suara.
Hasil penghitungan di TPS nantinya dikirim ke sistem server Charta Politika lewat aplikasi.
"Itu mengirimkan data yang mereka sudah dapatkan, melalui apa yang mereka ketik berdasarkan apa yang mereka lihat di C1 plano. Kedua, mereka harus melampirkan juga C1 planonya sehingga kemudian kami melakukan verifikasi," kata dia.