JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Adji Alfaraby, menilai Pemilu Serentak 2019 terlalu dipaksakan.
Akibatnya, Pemilihan Legistatif (Pileg) 'tenggelam' dari Pemilihan Presiden (Pilpres).
"Kompleksitasnya (Pemilu 2019) kita bisa simpulkan pemilu serentak ini ibarat kawin paksa, dua pemilu yang dipaksa digabung. Kami melihat tidak adanya kesetaraan antara pilpres dan pileg," kata Adji dalam diskusi bertajuk "Pemilu Serentak yang Menghentak" di D'Consulate Resto & Lounge, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (20/4/2019.
Ia menuturkan, bukti dari 'tenggelamnya' pileg terdapat dari percakapan publik yang diamati baik di media sosial maupun media massa.
Berdasarkan pengamatan, kata Adji, 70 persen masyarakat hanya membahas pilpres dibandingkan pileg.
"Hampir 70 persen percakapan publik ini mayoritasnya tentang pilrpes. Di tingkat partisipasinya berbeda, kalau pilpres 81 persen, kalau pileg sekitar 70 persen," ujar Adji.
Padahal, kata dia, Pileg tidak boleh dinomorduakan. Namun demikian, karena antusiasme masyarakat lebih kepada pilpres, maka informasi terkait pileg menjadi sangat sedikit diterima pemilih.
"Kita tahu memilih eksekutif sama pentingnya dengan memilih parlemen. Partai politik saya yakin merasakan hal yang sama, minim sekali partai politik melaksanakan sosialisasi ke publik kalau merekalah partai politik atau caleg yang layak dipilih," jelas Adji.
Dengan demikian, kata Adji, para caleg yang terdaftar dalam surat suara pun menjadi tidak diketahui publik.
"Kualitas pilihan publik akhirnya jadi minim sekali karena rendahnya informasi yang diterima publik terkait caleg atau partai politik," sambung dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.