JAKARTA, KOMPAS.com - Masa transisi dari Tempat Pemungutan Suara (TPS) ke Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dinilai menjadi momen paling rawan terjadinya kecurangan saat Pemilu 2019.
Hal itu diungkapkan Majelis Nasional Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Standarkiaa Latief, saat ditemui di kawasan Jakarta Pusat, Selasa (16/4/2019).
"Kalau dari tingkat TPS ke PPK, itu paling rawan. Karena kedua belah pihak paslon, caleg, ini kan barengan, caleg punya saksi, itu akan ngawal. Jadi sudah merancang masing-masing bagaimana suaranya enggak ilang, suaranya enggak berubah," ungkap Standarkiaa.
Baca juga: Panduan Lengkap buat Pemilih Pemilu 2019
Salah satu modus kecurangan yang berpotensi terjadi di momen rawan itu misalnya dengan mengganti kertas plano hasil rekapitulasi suara.
Berkaca dari pengalaman sebelumnya, kaa Standarkiaa, modus seperti itu kerap kali terjadi.
"Rekap itu kan kelihatan semua di plano, sinkron dengan (form model) C1, tapi ketika surat suara sudah dihitung semua di TPS, dia mau berpindah ke tingkat kecamatan ata PPK, kertas plano kan bukti dasar, terganti," katanya.
Selain itu, modus kerawanan lain terjadi saat saksi tak memperhatikan jalannya proses pemilu.
Ia menuturkan saksi bisa saja memiliki keperluan untuk buang air kecil atau mengurusi anaknya, sehingga potensi kecurangan saat itu sangatlah tinggi.
Baca juga: TPS Unik Bertema Pemilu Nusantara di Depok Menarik Perhatian Kapolda Metro Jaya
Kemudian, potensi kecurangan dapat pula melibatkan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
"Umpamanya pihak KPPS 'bermain'. Misalnya coblos caleg X, ternyata mau dihitung, lembar kertasnya itu sudah ada bolongan, maka itu jadi gugur, tidak sah karena ada 2 pencoblosan," tutur dia.
Standarkiaa mengatakan, pemilu dapat berjalan lancar dan damai jika seluruh pihak terkait mematuhi aturan yang ada.