JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah dan DPR didesak membuat undang-undang yang khusus mengatur soal penyelesaian sengketa jurnalistik.
Nota kesepahaman antara Dewan Pers dan Polri dinilai tak cukup untuk menyelesaikan kasus hukum terhadap jurnalis dan media massa.
Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Ade Wahyudin mengatakan, selama ini prosedur penyelesaian sengketa jurnalistik menggunakan nota kesepahaman tersebut.
Sehingga, saat ada aduan secara hukum, penegak hukum akan menyerahkan kasus itu lebih dulu kepada Dewan Pers.
Baca juga: LBH Pers Identifiaksi 3 Jenis Kekerasan Baru terhadap Wartawan
"Kalau MoU tidak diperpanjang, akan banyak kasus yang langsung ditangani oleh polisi tanpa Dewan Pers. Tetapi tidak cukup MoU, lebih baik ini diperkuat di level perundangan," ujar Wahyudin dalam diskusi di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Jumat (5/4/2019).
Menurut Wahyudin, perlu ada regulasi yang menjelaskan secara lebih tegas bahwa kasus yang melibatkan jurnalis dan media harus lebih dulu diselesaikan melalui Dewan Pers.
Baca juga: Dewan Pers: Tabloid Indonesia Barokah Bukan Produk Jurnalistik
Pembuatan aturan itu dinilai, menghilangkan kekhawatiran mengenai dilakukan atau tidak perpanjangan nota kesepahaman. Apalagi, menurut Wahyudin, banyak lembaga dan oknum yang menginginkan agar jurnalis dapat dipidana jika melanggar aturan mengenai pers.
Menurut Wahyudin, saat ini LBH Pers sedang mengumpulkan putusan-putusan yang dianggap terbaik dalam kasus sengketa jurnalistik, di mana putusan tersebut diawali penanganannya oleh Dewan Pers.
"Hasilnya nanti akan jadi dasar untuk mendesak pemerintah dan DPR membuat regulasi penyelesaian sengketa jurnalistik," kata Wahyudin.