JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konsititusi (MK) menyebutkan, Pasal 350 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tidak sesuai dengan gugatan uji materi yang diajukan para pemohon dalam perkara Nomor 20/PUU-XVII/2019.
Pasal tersebut mengatur tentang syarat penentuan lokasi Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Namun, dalam dalilnya, pemohon menyebutkan bahwa pembentukan TPS yang sesuai Daftar Pemilih Tetap (DPT) berpotensi mengganggu hak pilih sebagian orang.
Dengan menggugat pasal tersebut, pemohon meminta dibuatkan TPS khusus untuk mengakomodasi pemilih yang pindah seperti dalam data Daftar Pemilih Tambahan (DPTb).
"Harus dipahami, konstruksi norma Pasal 350 ayat (2) UU Pemilu bukanlah mengatur tentang basis pembentukan TPS, sebagaimana dipahami dan didalilkan oleh para pemohon, melainkan terkait dengan syarat lokasi pembentukan TPS," ujar Hakim Konstitusi Saldi Isra saat membacakan putusan, di Gedung MK, Jakarta, Kamis (28/3/2019).
Baca juga: MK Kabulkan Uji Materi, Suket Perekaman E-KTP Bisa Digunakan untuk Mencoblos
Meski demikian, MK memahami semangat pemohon agar pemilih yang pindah juga dilayani hak pilihnya dengan dibuatkan TPS tambahan.
Menurut MK, pemilih dalam DPTb pun merupakan bagian dari DPT, sehingga tidak terpisahkan. Artinya, DPTb juga menjadi basis data dalam pembentukan TPS.
Oleh karena itu, MK menegaskan bahwa KPU dapat membangun TPS tambahan yang mengacu pada data DPTb.
"Dengan demikian, apabila data pemilih dalam DPT dan DPTb memang membutuhkan penambahan TPS maka sesuai dengan wewenang KPU untuk mengatur jumlah, lokasi, bentuk dan tata letak TPS sebagaimana diatur dalam Pasal 350 ayat (5) UU Pemilu, KPU dapat membentuk TPS tambahan sesuai dengan data DPTb," kata Saldi.
Baca juga: MK Perpanjang Waktu Penghitungan Suara pada Pemilu 2019 hingga 12 Jam
Akan tetapi, MK berpesan agar pembentukan TPS tambahan juga harus dilakukan secara hati-hati dengan berbagai pertimbangan.
Sebelumnya, sebanyak tujuh pemohon mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi, Selasa (5/3/2019).
Ketujuh pemohon tersebut adalah Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diwakili oleh Titi Anggraini, pendiri dan peneliti utama Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis, dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari.
Kemudian, terdapat pula dua orang warga binaan di Lapas Tangerang, yaitu Augus Hendy dan A. Murogi bin Sabar, serta dua karyawan, Muhamad Nurul Huda dan Sutrisno.
Para pemohon menguji Pasal 210 ayat (1), Pasal 350 ayat (2), Pasal 383 ayat (2), Pasal 348 ayat (4) dan ayat (9).