JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Tenaga Kerja masih mengkaji serta menyempurnakan rencana program Kartu Pra Kerja bagi pengangguran di Indonesia yang dikemukakan Presiden Joko Widodo.
Menteri Tenaga Kerja Hanif Dakhiri mengatakan, salah satu hal yang masih dikaji adalah soal apakah pengangguran penerima kartu itu hanya akan mendapatkan pelatihan keterampilan saja atau juga juga mendapatkan pemberian insentif (uang) sampai ia mendapatkan pekerjaan.
"Bahasa beliau (Presiden Jokowi) memang honor. Itu yang kita kaji, kongkretnya akan seperti apa? Ada semacam insentifkah? Atau apa," ujar Hanif saat dijumpai di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Rabu (6/3/2019).
Baca juga: Tak Semua Pengangguran Bisa Dapat Kartu Pra Kerja, Ini Penjelasan Moeldoko
Tapi, Hanif menekankan bahwa ide awal program itu adalah penerima Kartu Pra Kerja hanya mendapatkan pelatihan keterampilan.
Bagi pengangguran kategori fresh graduate, pelatihan yang diberikan adalah perbaikan keterampilan.
Sementara, bagi pengangguran kategori pindah pekerjaan atau korban PHK, pelatihan yang akan diberikan adalah peningkatan keterampilan atau ganti keterampilan.
Baca juga: BPN Prabowo Nilai Kartu Pra Kerja Jokowi Tak Bagus, Bikin Ketergantungan
Adapun pertimbangan penerima Kartu Pra Kerja juga mendapatkan uang, lanjut Hanif, adalah soal tanggung jawabnya terhadap keluarga selama penerima program itu menggikuti pelatihan hingga mendapatkan pekerjaan.
"Karena kan pada saat (penerima) ikut pelatihan dan mencari pekerjaan baru, keluarganya itu siapa yang urus? Itu maksudnya mengapa insentif-insentif itu diperlukan. Tapi bentuknya itu seperti apa, besarnya berapa, nanti," ujar dia.
Soal kapan hal itu akan diputuskan, Hanif belum bisa berkomentar banyak. Sebab, rancangan program itu memang diperuntukkan untuk tahun-tahun mendatang.
Hanif melanjutkan, program Kartu Pra Kerja ini menyelesaikan persoalan kesenjangan keterampilan pada angkatan kerja di Indonesia.
Baca juga: Jokowi: Pemegang Kartu Pra Kerja Dapat Gaji meski Belum Punya Pekerjaan
Ia memberikan gambaran, dari 131 juta angkatan kerja di Indonesia, 58 persennya merupakan lulusan SD dan SMP. Artinya, dari 10 orang Indonesia, sekitar 6 orangnya memiliki latar belakang pendidikan di bawah rata-rata.
Adapun, persentase sisanya merupakan lulusan SMA/ SMK/ D1/ D3 dan S1. Dari total angkatan kerja lulusan SMA hingga S1, sebagian besar merupakan lulusan SMA/ SMK/ D1 dan D3.
"Berarti, dari 4 orang sisanya tadi, 3 gugur dan hanya 1 orang yang berpendidikan baik atau dia sesuai dengan pasar kerja. Inilah mengapa pentingnya program ini. Pak Jokowi mengerti masalah kesenjangan skill," ujar Hanif.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.